Aria berdiri di halaman sekolah, tangan terbenam dalam saku seragamnya. Cahaya matahari menyengat, memaksa matanya mengerjap. Di sampingnya, Fajar, Budi, dan Dito berjejer, masing-masing menggenggam sapu, berusaha menahan tawa yang mengintip di sudut bibir mereka. Kepala sekolah, berdiri di depan, dengan tangan menyilang dan wajah yang lebih gelap dari awan mendung, seolah mengawasi badai yang siap pecah.
“Selama satu minggu ke depan, kalian akan membersihkan sekolah,” suaranya datar, menembus keheningan dengan tegas. “Mulai dari halaman ini. Jangan ada yang coba-coba main-main.”
Aria menunduk, menghela napas dalam-dalam. Setiap tarikan udara seolah membawa kembali rasa sakit dari latihan tinju kemarin. Tapi yang lebih menyiksa adalah ketidakpastian yang melingkupi mereka. Fajar, di sampingnya, tersenyum lebar, matanya berkilat penuh tantangan, sementara Dito dan Budi berusaha menahan tawa yang menggelitik perut mereka.
“Sapu itu jalan, mulai dari sudut sana,” Kepala sekolah menunjuk ke arah ujung halaman, suaranya mengalir tajam di antara daun-daun kering yang berserakan. “Dan jangan tinggalkan satu daun pun.”
Mereka berempat mulai bergerak, sapu-sapu itu menyisir halaman yang dipenuhi sisa-sisa daun kuning. Suara gesekan sapu dengan tanah bergaung monoton, mengisi udara pagi yang sunyi, seperti lagu pengantar tidur yang tidak bisa menghilangkan rasa cemas di dalam hati Aria.
Ia bekerja dalam diam, merasakan setiap gerakan sapu mengirimkan getaran nyeri ke punggung dan kakinya. Namun, bukan rasa sakit itu yang mengganggunya, melainkan sikap santai Fajar yang seolah tidak terpengaruh oleh situasi ini. Dengan ceroboh, ia menggoyang-goyangkan sapunya, melirik Aria dengan senyum nakal.
“Satu minggu ini bakal jadi seru, kan?” katanya, suaranya penuh lelucon.
Aria menatapnya tajam, merasakan jantungnya berdetak tidak teratur. “Seru buatmu. Aku cuma ingin ini cepat selesai.”
Fajar tertawa kecil, matanya menyala. “Santai aja. Kerja sosial ini cuma pemanasan. Minggu depan pasti ada yang lebih seru.”
Aria berhenti menyapu sejenak, menarik napas dalam, mencoba meredakan gejolak di dadanya. “Maksudmu apa, Fajar?”
Namun, sebelum Fajar sempat menjawab, Dito menyenggolnya dengan sikunya, tertawa pelan. “Kamu lihat itu?” Ia menunjuk ke arah bangunan sekolah. Kepala sekolah berdiri di pintu, matanya tajam seperti anak panah yang siap melesat. Jantung Aria berdegup lebih kencang, bukan karena hukuman, tetapi karena ada sesuatu yang mencurigakan dalam tatapan Fajar dan Dito.
"Waktunya seru-seruan," bisik Fajar, mendekat ke Dito. Mereka berdua mulai berbisik, sementara Aria melanjutkan menyapu, rasa tidak nyaman menggelayut di hatinya. Fajar dan Dito tidak pernah bisa tenang terlalu lama, selalu merencanakan sesuatu yang bisa berujung masalah.