Aria berdiri di depan pintu. Langit malam hitam. Bintang-bintang berkelap-kelip. Dalam rumah, suara dentingan piring dan aroma nasi goreng memenuhi udara. Ia menarik napas dan membuka pintu.
Maya duduk di meja. Nasi goreng terhidang rapi, irisan ayam dan sayuran berwarna-warni. Senyumnya hangat, tetapi ada kerut di dahi. Aria meletakkan tasnya, merasakan keanehan di tengah kehangatan itu.
"Bagaimana hari ini?" tanya Maya. Suaranya lembut, tapi ada ketegangan. Aria terdiam sejenak, menimbang kata-kata yang tak terucap.
"Baik, Bu," jawab Aria cepat, meskipun hatinya berat. Ia tahu ibunya ingin mendengar lebih banyak—tentang sekolah, tentang hukuman kerja sosialnya, tentang Fajar. Tapi topik itu terlalu rumit untuk diungkapkan.
Maya menyajikan piring, menatap putrinya dengan cermat. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Aria merasa seolah-olah semua rahasia terungkap. "Ibu dengar kamu banyak habiskan waktu sama Fajar belakangan ini. Kamu yakin ia nggak bikin masalah lagi?"
Aria menunduk, jari-jarinya bermain dengan sendok. "Fajar nggak seperti dulu," ucapnya pelan, meskipun di dalam hatinya keraguan mencuat. Kenangan akan Fajar yang ceria dan nakal berputar di pikirannya, namun bayangan masa lalu itu kini mulai kabur.
Suara dentingan sendok memenuhi keheningan, setiap dentingnya seperti petunjuk bagi kedamaian yang hilang. Maya menanti jawaban lebih dari sekadar kata-kata.
"Aria," suaranya menjadi lebih tegas, "ibu hanya khawatir. Teman-teman seperti Fajar... mereka kadang berubah, tapi kadang juga tidak. Ibu nggak mau kamu terlibat masalah gara-gara dia."
Dada Aria bergetar. Ia merasa terjepit antara rasa setia pada temannya dan cemas akan apa yang mungkin terjadi. "Tadi Fajar bilang ada masalah dengan geng dari sekolah sebelah," katanya akhirnya, suara rendah dan penuh keraguan.
Maya seolah tersentak. "Dan kamu terlibat di situ?"
Aria menggigit bibirnya, tidak tahu harus menjawab apa. "Aku hanya mendengar," jawabnya, tetapi kejujuran itu terasa pahit. Maya menghela napas, matanya berkilau dalam cahaya lampu yang lembut.
"Aria, kamu tahu ibu hanya mau yang terbaik untukmu," katanya, suaranya lembut tetapi tegas. "Kamu harus hati-hati. Kalau Fajar masih terlibat dalam masalah seperti ini, ibu tidak mau kamu ikut terseret."
Aria mengangguk pelan, merasakan betapa rapuhnya posisinya. Di dalam hatinya, ada dorongan untuk membela Fajar, tetapi juga rasa takut akan kekecewaan ibunya. Dalam sepi yang melingkupi mereka, hanya dentingan sendok dan desah napas yang terdengar.
“Bu, sebenarnya aku mau bilang sesuatu,” Aria mencoba membuka percakapan, suaranya teredam oleh harapan dan ketakutan. “Selama satu minggu, kami semua harus kerja sosial. Jadi, Fajar dan yang lainnya ikut serta. Ini mungkin jadi kesempatan baik untuk mereka.”