Hari itu terik. Sinar matahari menyengat kulit Aria saat ia berdiri di halaman sekolah, menggenggam sapu dengan erat. Debu beterbangan di udara, menggelitik hidungnya. Di sampingnya, Fajar bersandar pada gagang sapunya, tampak malas. Senyumnya licik, penuh permainan.
“Kita di sini buat apa, ya? Bersihin sampah atau nunggu kiamat?” tanya Fajar, suaranya penuh sindiran.
Aria menarik napas panjang. “Kalau kamu nggak serius, kita bisa dihukum lebih lama,” jawabnya sambil menyapu tumpukan dedaunan kering ke satu sisi.
Fajar tertawa, suara nyaringnya menggema di halaman yang sepi. “Capek? Enggak. Seru malah.”
Ia menendang kaleng kosong yang tergeletak di dekat kakinya, lalu dengan sengaja menjatuhkan sapunya dan menendang tumpukan daun yang baru saja Aria bersihkan. Daun-daun kering beterbangan, membuat pekerjaan Aria menjadi sia-sia. Aria mendengus marah, tangannya mengepal.
“Ayo, santai aja, Ria,” Fajar berkata, menirukan suara orang tua dengan nada konyol. “Kerja sosial tuh buat belajar sabar, kan?”
Aria melangkah mendekat, wajahnya berkerut. “Kamu nggak capek, ya? Selalu bikin masalah.”
Budi dan Dito, yang berdiri di dekatnya, terdiam, melirik satu sama lain, ragu untuk tertawa. Suasana tegang, seperti ada udara yang membeku di antara mereka.
Fajar melipat tangannya, tetap dengan senyum yang menjengkelkan. “Capek? Enggak. Seru malah.”
Aria merasakan amarahnya memuncak. Tanpa berpikir panjang, ia melempar sapunya ke tanah dan mendekati Fajar. “Kamu pikir ini semua lelucon? Ini hidup orang-orang yang harus dibersihkan, bukan cuma daun-daun ini!”
Fajar terdiam sejenak, tatapan mereka bertemu. Ada kejut di mata Fajar. Namun, alih-alih mundur, ia malah mendekatkan wajahnya. “Kalau kamu mau jadi pahlawan, terserah. Tapi aku nggak peduli.”
Aria merasa napasnya berat. Di kepalanya terlintas gambar-gambar: Maya yang khawatir, Andi yang telah tiada, dan semua ketakutan tentang apa yang akan terjadi jika ia terus membiarkan Fajar bertingkah seperti ini.