Ruang latihan terasa lebih panas dari biasanya. Peluh membasahi wajah Aria meski baru setengah sesi berlalu. Ini kali kedua ia mengikuti kelas intensif, dan ritme pukulannya mulai mengikuti irama yang diharapkan. Tubuhnya mulai terbiasa dengan pola-pola latihan, meski jantungnya masih berdebar kencang setiap kali Riko berjalan melewatinya dengan tatapan tajam.
Di sisi lain ruangan, Maya memukul samsak dengan gerakan yang lebih terkendali. Kelasnya biasa saja, tapi matanya tak pernah lepas dari Aria. Maya melayangkan pukulan kanan, namun detik berikutnya pandangannya mengarah pada putrinya yang tengah melontarkan jab dan cross dengan teknik yang semakin mantap.
"Fokus, Maya!" suara Riko terdengar keras, membelah suasana.
Maya tergagap, sedikit tersentak. "Ya, Coach!" jawabnya terburu-buru, melanjutkan pukulannya. Tapi pikirannya jelas tak sepenuhnya di sana.
Tiba-tiba, Riko berhenti di tengah lapangan dan menatap mereka bergantian. “Maya, Aria. Ring. Sekarang.”
Keduanya berhenti sejenak, saling memandang. Aria menggigit bibirnya, matanya berkedip-kedip, seolah menunggu perintah itu dianulir. Maya, yang baru saja mengelap keringat, mengernyitkan dahi. Sparring? Dengan Aria?
"Coach, aku pikir—"
"Ini bukan negosiasi, Maya. Kau terlalu protektif. Hari ini, kita uji. Apakah Aria bisa serius dalam pertarungan? Atau kau akan menahannya?"
Aria mengerutkan keningnya, merasakan embusan ketegangan di udara. Ini bukan latihan biasa. Ini ujian. Tangannya meremas erat sarung tinju di genggamannya, jantungnya berpacu lebih cepat.
Riko melambai ke arah ring. “Masuk.”
Maya mengangguk pelan, mengikuti dengan langkah ragu. Matanya bertemu dengan Aria yang sudah menunggu di sudut ring. Sebuah percikan kekhawatiran terpancar di mata keduanya, tapi tidak ada kata yang terucap.
Mereka mengenakan pelindung kepala dan naik ke atas ring. Langkahnya terasa berat. Di sudut lain, Aria menggulung sarung tangannya lebih kencang, tarikan napasnya terdengar tajam.
"Jangan takut, Aria," suara Maya terdengar serak, nyaris berbisik. Tapi Aria tak membalas.
Wasit memberi aba-aba. Keduanya melangkah ke tengah ring, posisi siap. Maya mencoba tersenyum, memberi isyarat bahwa ini hanya permainan. Namun, Aria tetap serius, matanya tertuju lurus pada ibunya.
"Ding!" Bel berbunyi.
Gerakan pertama datang dari Maya, sebuah jab ringan—setengah hati, jelas. Aria menangkisnya dengan mudah. Tapi, bukannya membalas, ia hanya berdiri di sana, menunggu.
Maya maju lagi, kali ini lebih cepat, melemparkan pukulan hook ke arah samping. Aria menunduk, menghindari pukulan itu dengan sigap, ia tetap tak membalas.
"Serius, Aria!" seru Maya, frustasi mulai merambat dalam suaranya.
Aria akhirnya bergerak, meluncurkan jab dengan cepat. Maya terkesiap, meski berhasil menghindar, rasa terkejut melintas di wajahnya. Ia tak menyangka Aria akan melakukannya. Mereka saling bertukar pukulan—saling uji, tapi belum benar-benar mengenai sasaran.
Namun kemudian, Maya melakukan kesalahan. Dalam satu gerakan yang terlalu lambat, hook kirinya meleset, dan Aria—didorong oleh refleks—membalas dengan pukulan lurus yang telak ke arah perut Maya.