Jalan menuju sekolah masih sepi. Aria berjalan cepat, jaketnya ditarik rapat melawan dinginnya pagi. Di kejauhan deretan kios-kios mulai buka, hiruk-pikuknya belum terasa. Hanya suara langkah kakinya yang terdengar, berirama di atas aspal.
Langkah Aria terhenti ketika sosok besar muncul dari balik gang sempit. Anton. Badannya besar, mata liar, dan senyum tipis yang menakutkan. Ia melangkah ke depan, menghadang jalan Aria. Dua tangannya menyilang di dada, posturnya menantang.
“Kemana, Aria?” suaranya rendah, penuh ejekan.
Aria tak menjawab. Napasnya memburu, kedua tangannya mengepal di dalam saku jaket. Ia tahu apa yang akan terjadi. Anton selalu mencari korban. Dulu di SMP, ia sering melihat anak-anak dipalak, dipermalukan. Kini, ia menjadi targetnya.
Anton melangkah lebih dekat. “Punya uang lebih, nggak? Buat beli rokok.” Ia tertawa pendek, kasar.
Aria mundur setapak, jantungnya berpacu. Tangannya meraba dalam jaketnya, mencari sesuatu, apa pun, untuk membela diri. Tetapi tidak ada apa-apa. Hanya keyakinan bahwa ia tidak akan mundur begitu saja
“Kamu tidak berubah, Anton.”
“Berani bicara? Pengecut seperti biasa. Cuma bisa berlindung di belakang teman-temanmu.”
“Tapi aku berdiri di sini.”
“Kau mau apa? Berjuang? Sekarang aku yang menguasai.” Anton menyeringai lebih lebar. “Sekarang aku lebih hebat.” Ia mendekat lagi kali ini tangannya terulur, siap meraih tas Aria.
Tetapi sebelum Anton bisa bergerak lebih jauh, suara gemuruh mesin motor terdengar mendekat. Aria menoleh dan melihat Fajar mengendarai sepeda motor dengan Budi dan Dito yang berboncengan di belakangnya. Fajar berhenti mendadak di samping mereka, rodanya berderit keras di atas aspal.
“Hei, Anton!” Fajar berteriak. “Aria temanku.”
Anton berbalik, rahangnya mengeras. Ia tidak suka diganggu, apalagi oleh orang yang pernah sekelas dengannya. Matanya memicing, menatap Fajar dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Jangan sok jagoan, Fajar.”
Fajar turun dari motor, berdiri tegak, tidak mengalihkan pandangannya dari Anton. “Lepaskan dia! Berani sama dia, berani sama aku. Atau takut kalau aku lebih kuat dari kamu?”
“Aku? Takut sama kamu? Hah, itu lawak.” Anton menyeringai lagi, tapi kali ini ada kilatan amarah di matanya. Ia mendekat. “Jadi kamu mau jadi pahlawan?”
“Lebih baik pahlawan daripada jadi penakut.”
Ketegangan menyebar di udara. Fajar menahan napas sejenak, lalu merapatkan jaketnya, siap menghadapi apa pun yang terjadi. Dito dan Budi diam di atas motor, matanya melirik satu sama lain, ragu.
Aria berdiri diam di tempatnya, mencoba mengukur situasi. Fajar, walau tidak sekasar Anton, jelas tidak takut. Ia tahu Anton. Mereka semua pernah di SMP yang sama. Tapi Anton lebih brutal sekarang, lebih nekat. Sesuatu dalam diri Aria bergejolak, ingin melawan, tapi juga sadar betapa berbahayanya situasi ini.
“Kamu bisa menang otot, tapi otak? Itu yang kamu kurang, Anton,” ujar Aria.