Maya berdiri di balik meja, jari-jarinya sibuk menekan-nekan tombol pada mesin kasir. Matanya mengikuti setiap gerakan pelanggan yang menjejali keranjang mereka dengan barang-barang. Keringat mengalir di pelipisnya meski kipas angin kecil di sudut ruangan berputar perlahan. Langit di luar terlihat suram, seperti menunggu badai.
"Berapa, Mbak?" seorang pria muda dengan hoodie abu-abu memecah kesunyian. Ia meletakkan sekantong beras dan beberapa botol air mineral di meja. Tatapannya menghindari Maya, terlalu cepat dan gelisah. Maya menelan ludah, merasa ada sesuatu yang aneh.
“Totalnya dua ratus tiga puluh ribu,” katanya, matanya masih tertuju pada pria itu, meneliti wajah yang sedikit tertutup tudung.
Pria itu merogoh saku celana. Kosong. Tangannya bergerak cepat ke saku jaketnya, namun ragu-ragu. Tangan Maya sedikit gemetar saat mengembalikan pandangannya ke layar kasir.
"Saya cuma bawa seratus ribu," suara pria itu rendah, hampir seperti bisikan. “Boleh sisanya nanti?”
Maya menarik napas, tapi belum sempat menjawab, pintu toko terbuka dengan keras, bel di atasnya berdentang nyaring. Dua pria masuk, salah satunya mengenakan topi hitam dengan logo tengkorak di depannya, sementara yang lain dengan tato melingkar di lengan.
"Maya." Suara pria bertato itu serak. "Udah lama nggak ketemu, ya?"
Maya mengatupkan rahangnya, tubuhnya menegang. Ia kenal pria ini—Bagas. Ia datang bersama beberapa orang bulan lalu, mengintimidasi setiap orang yang mereka temui. Mereka bilang ingin ‘mengambil kembali apa yang jadi milik mereka’, tapi Maya tahu itu hanya cara licik untuk memeras uang dari bisnis kecilnya.
"Apa yang kalian mau?" tanya Maya tajam, tanpa melepas pandangan dari Bagas. Satu tangannya meraih ke bawah meja, mencari sesuatu.
“Cuma mau mampir, lihat keadaan,” kata Bagas, menyeringai. "Kamu tahu kan, toko kayak gini butuh perlindungan."
“Aku nggak butuh perlindungan dari kalian.” Suaranya tegas, tapi ada ketegangan di bawahnya, seperti senar yang ditarik terlalu kencang.
Bagas tertawa pendek. "Kamu pasti butuh, terutama kalau kita... ya, nggak suka sama yang kita lihat."
Maya akhirnya menemukan pegangan besi di bawah meja. Sebuah linggis kecil. Jari-jarinya mencengkeram kuat benda itu, meskipun keringat mulai membasahi telapak tangannya.
"Sekarang bukan waktu yang tepat, Bagas," katanya, memaksa dirinya tetap tenang.
Pria di meja kasir—yang tadinya terlihat cemas—mundur perlahan, tapi pandangannya terus bergeser dari Maya ke Bagas, seperti mencari jalan keluar.
Bagas maju satu langkah. "Kami cuma mau uang, Maya. Kalau kamu kerja sama, semuanya bisa baik-baik saja."
Maya menggigit bibirnya, pikirannya berlari. Ia bisa saja menyerahkannya, uang dari kasir itu. Tapi sekali ia menyerah, mereka akan datang lagi, dan lagi. Toko kecil ini, satu-satunya sumber penghidupannya untuk Aria, akan hancur. Linggis itu semakin erat di tangannya.