Aria membuka pintu dengan pelan, suara kunci berderit sedikit. Jam di dinding sudah hampir menunjukkan pukul lima sore. Matanya menyapu ruang tamu yang sepi. Biasanya, ibunya sudah ada di dapur atau membersihkan rumah, tapi sekarang semuanya terasa sunyi.
Saat ia melangkah lebih jauh, Aria melihat Maya di sofa. Ibunya duduk di sana, wajahnya tertunduk, bahunya berguncang pelan. Air mata menetes di pipi, tangannya memegang iPad. Aria langsung panik, napasnya tercekat.
“Bu! Kenapa?!” Aria mendekat cepat, meletakkan tasnya di lantai dengan kasar.
Maya mendongak, kaget. Ia segera menyeka air matanya dengan lengan baju. “Oh, sayang. Kamu sudah pulang?”
Aria berhenti, matanya membesar. "Ibu... nangis? Ada apa? Ibu sakit?"
Maya tertawa kecil, terisak di sela-sela tawa. “Nggak, nggak, Aria. Ibu cuma nonton drama ini.” Ia menunjuk layar iPad, di mana adegan tangis-tangisan masih berlangsung, musik latarnya penuh emosi.
Aria memutar matanya, lalu duduk di sebelah ibunya, melepaskan napas lega. “Ya ampun, Bu. Aku kira ada apa-apa.”
Maya mengelus kepala putrinya dengan lembut. “Kamu tahu kan, ibu gampang tersentuh kalau nonton kayak gini.”
Aria tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. Ia memeluk lututnya, menunduk sebentar, sebelum akhirnya bicara. “Bu, aku mau ngomong sesuatu.”
Maya menoleh, matanya masih basah. “Apa, sayang?”
“Di sekolah, minggu depan ada kompetisi atletik. Mereka mau adain lomba lari 100 meter. Aku… aku mau ikut.”
Maya mengerutkan kening, duduk lebih tegak. “Lari? Kamu yakin?”
Aria mengangguk cepat. “Iya, aku latihan tiap hari di sekolah. Teman-teman juga bilang aku cepat. Aku mau coba.” Ia berhenti sejenak, lalu melirik ibunya dengan sedikit ragu. “Aku... aku pengen ibu datang. Nonton aku.”
Maya terdiam sesaat, menatap Aria dengan tatapan lembut, tapi penuh pertimbangan. "Lomba lari? Kapan?"
"Minggu depan. Hari Sabtu." Aria meremas jarinya, berharap ibunya setuju. "Aku tahu Ibu sibuk, tapi... aku pengen banget Ibu lihat aku lari."
Maya menarik napas panjang, lalu mengusap pipi Aria pelan. "Aku pasti datang, Aria. Aku nggak akan ketinggalan."
Mata Aria bersinar, senyum merekah di wajahnya. "Beneran?"
Maya mengangguk. “Beneran. Aku nggak mau ketinggalan saat kamu tunjukin ke dunia kalau kamu bisa lari lebih cepat dari siapa pun.”
Aria tertawa kecil, merasa lega. Ia menyenderkan kepalanya ke bahu ibunya, sementara Maya kembali mengusap rambutnya dengan lembut. Hening mengisi ruang tamu, hanya suara drama di iPad yang masih berlanjut, tapi tak ada yang peduli lagi.
Maya berdiri, meletakkan iPad di meja, lalu menepuk lututnya. “Ayo, kita makan di luar. Ibu udah lama nggak ajak kamu makan di luar.”
Aria menatapnya dengan mata lebar. “Bener, Bu? Makan di luar? Di mana?”
Maya tersenyum, mengambil kunci mobil. “Kamu pilih. Kita butuh udara segar setelah semua air mata ini.”
Aria berdiri dengan cepat, matanya berbinar. “Pizza! Aku mau pizza!”
Maya mengangguk. “Pizza it is.”