Maya dan Aria masuk ke gym yang panas dan berbau keringat. Maya memegang tali sarung tinju di tangannya, sementara Aria mengikat rambutnya, bersiap untuk latihan. Mereka belum sampai ke ring ketika suara pukulan keras terdengar dari arah pojok. Kedua kepala mereka langsung menoleh.
Di sana, di dalam ring, berdiri Fajar dengan sarung tinju, wajahnya tegang. Di depannya, Luki, murid terbaik Riko, menatapnya dengan dingin, gerakannya cepat dan penuh perhitungan. Fajar memutar tubuhnya, berusaha menghindari pukulan, tapi Luki terus mendesak, setiap langkahnya terukur.
“Bu, itu Fajar!” bisik Aria, matanya melebar
Maya mengerutkan kening. "Apa yang dia lakukan di sini?" katanya pelan, nada herannya jelas.
Dari sudut ring, Riko berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya tak lepas dari kedua anak di dalam ring. Pelipisnya berkilat oleh keringat, wajahnya keras seperti batu. "Terus! Jangan kasih kendor, Luki!" teriaknya dengan suara bariton yang memenuhi ruangan.
Luki melepaskan satu hook ke arah Fajar, dan tinju itu hampir mengenai rahangnya. Fajar terhuyung ke belakang, berusaha menahan serangan tapi ia terlalu lambat. Pukulan berikutnya menghantam tubuhnya, membuatnya jatuh ke lutut.
“Bangun!” seru Riko, suaranya seperti cambukan. “Kalau kamu mau ada di sini, kamu harus bisa ambil pukulan!”
Maya menelan ludah, dadanya mulai berdebar. "Aria, kita tunggu sebentar. Aku mau lihat ini."
Aria mengangguk, matanya tak lepas dari ring, antara kagum dan cemas. Ia tahu Fajar bisa begitu keras kepala, tapi ini? Ini lain. Ini bukan Fajar yang biasanya hanya usil.
Fajar perlahan bangkit, wajahnya penuh tekad, meski tubuhnya terlihat mulai lelah. Ia mengangkat sarung tinjunya lagi, siap menerima pukulan berikutnya.
Luki melangkah maju, tinjunya diangkat, siap untuk menuntaskan pertarungan. Tapi sebelum ia meluncurkan serangan, Fajar tiba-tiba maju, lebih cepat dari sebelumnya. Satu pukulan lurus menghantam dada Luki, membuatnya mundur satu langkah. Riko mengangkat alisnya, terkejut.
“Tuh, kan! Lihat!” bisik Aria, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Luki dengan cepat membalas, tapi kali ini Fajar menghindar, refleksnya membaik. Ia bergerak ke kanan, lalu menunduk, berhasil menghindari hook Luki yang seharusnya menghantam wajahnya.
Riko tersenyum tipis, tangan di pinggang. “Akhirnya belajar juga,” gumamnya.
Maya tetap diam, matanya tak lepas dari Fajar. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang berbeda dari anak yang biasanya hanya membuat masalah di sekolah. Tapi Maya tahu, Riko bukan pelatih yang sembarangan. Jika ia melatih Fajar, pasti ada alasan kuat di baliknya.
“Fajar! Fokus!” teriak Riko lagi.
Fajar melangkah maju lagi, kali ini dengan keyakinan yang lebih besar. Ia mulai mengimbangi Luki, tidak hanya bertahan tapi juga menyerang. Luki, yang awalnya tampak superior, mulai terlihat terdesak. Keringat membasahi wajahnya, sementara Fajar terus mendekat, mencari celah.
“Bu, aku nggak tahu kalau Fajar bisa kayak gitu,” kata Aria, suaranya setengah berbisik.
Maya menatap Aria. “Dia berubah,” katanya pendek.
Di dalam ring, Luki akhirnya melancarkan satu serangan terakhir, tetapi Fajar dengan cepat menangkis dan melepaskan satu uppercut yang membuat Luki terdorong ke tali ring. Luki terhuyung, hampir jatuh, tapi ia cepat bangkit, napasnya terengah-engah.
“Cukup!” teriak Riko, melambaikan tangannya. Kedua anak itu berhenti, napas mereka masih berat.