Mereka berdiri di halaman sekolah, matahari siang menusuk tanah kering. Aria menghela napas, menghapus keringat di dahinya. Satu minggu. Hanya satu minggu, tapi rasanya seperti sebulan penuh. Budi, Dito, dan Fajar berdiri tak jauh darinya. Fajar sedang mengotak-atik sesuatu di tangannya, wajahnya menyeringai seperti biasanya—tidak berubah. Aria sempat berpikir, mungkin hukuman kerja sosial itu membuatnya sadar. Nyatanya, tidak.
Budi, yang lebih pendek dari yang lain, menendang kerikil di depannya. "Akhirnya selesai juga, ya. Besok kita bisa balik main bola lagi."
Dito mengangguk setuju. "Iya, sumpah, aku udah gatel pingin main."
Fajar, tanpa melihat ke arah mereka, berkata, “Siapa bilang selesai? Ada sesuatu yang seru buat sore ini.”
Aria menyipitkan mata, melihat ke arah Fajar. “Apa maksudmu, Fajar?”
Fajar hanya tertawa kecil, menatap Aria dengan matanya yang penuh kenakalan. "Kamu tau lah, Aria. Masih ada satu hal yang belum kelar."
"Apa lagi? Kamu udah cukup bikin masalah seminggu ini," geram Aria.
Fajar hanya mengangkat bahu, senyumnya melebar. “Nggak banyak. Cuma Dito mau kasih ‘hadiah’ buat Pak Herman sebelum pulang. Kamu ingat ‘kan dia yang kasih kita hukuman ini?”
Aria memutar matanya. “Kamu bener-bener nggak ada kapoknya, ya?”
Tapi Fajar terus berjalan menuju gedung sekolah, matanya memancarkan rencana yang sudah matang. "Kamu ikut nggak?"
Aria menatap Budi dan Dito. Mereka tampak ragu-ragu, tetapi ada ketertarikan di mata mereka, seperti anak-anak kecil yang tak bisa menahan diri melihat kembang api.
"Apa yang kamu rencanain, Fajar?" desak Aria, mulai merasa ada sesuatu yang tak beres.
Fajar berhenti, lalu mengeluarkan botol kecil dari sakunya. Isinya cairan merah, entah apa itu. "Sedikit ‘kejutan’ buat Pak Herman di ruangannya."
Aria mendekat, mata terfokus pada botol itu. "Fajar, ini serius? Kamu mau kena hukuman lagi? Aku nggak ikut-ikut kalo kamu cari gara-gara."
Budi dan Dito, yang tadinya setengah ingin ikut, mulai mundur perlahan, merasa bahaya semakin nyata.
Fajar tersenyum, menepuk bahu Dito. “Tenang aja. Kalian semua pengecut.”
Aria mendekat ke Fajar, wajahnya tegang. “Kamu gila, Fajar. Aku nggak bakal biarin kamu melakukan itu.”
Fajar mengangkat alis. "Coba aja. Kamu pikir kamu bisa menghentikan aku?"