Aria berdiri di garis start, menarik napas dalam, dadanya berdegup kencang. Otot-otot kakinya terasa kaku. Matanya menyipit, menatap lurus ke depan, mencoba mengabaikan semua suara—suara anak-anak yang bersorak, para pelatih yang berteriak.
Satu suara menembus semuanya. "Aria! Ayo, Nak! Kamu bisa!" Suara ibunya, Maya, nyaring dari pinggir lapangan. Aria tahu semua mata tertuju padanya, tapi sorakan ibunya lebih keras dari yang lain. Itu bukan hanya sorakan dukungan, ada semacam harapan yang berat di dalamnya. Terlalu berat.
Kemudian, Fajar muncul di sampingnya. “Ayo, Aria. Jangan kalah sama yang lain,” katanya, senyumnya lebar, tapi ada nada mengejek di dalam suaranya. Ia mengayunkan lengannya ke depan-belakang, berlagak melakukan pemanasan yang sama, tapi lebih berlebihan.
Aria tidak menjawab, dalam hatinya ia mendidih. Saat peluit dibunyikan, ia melesat sekuat tenaga. Kakinya menghentak tanah, setiap langkahnya berat tapi bertenaga. Napasnya cepat dan pendek, tapi tidak cukup. Peserta lain satu per satu melampauinya. Ia mencoba mempercepat, tubuhnya berteriak, tapi kakinya menolak bergerak lebih cepat. Semuanya berlalu dalam kabut keringat dan kelelahan. Garis finis mendekat, tapi bukan kemenangan yang menantinya.
Posisi ketujuh. Ia berdiri di tepi lapangan, terengah-engah, matanya mencari Maya. Dari jauh, ibunya masih berdiri di sana, menggelengkan kepala, meski sorakannya tak pernah benar-benar berhenti.
Fajar menepuk punggungnya ketika lewat. “Tak apa, mungkin lain kali, ya,” katanya, sambil tertawa kecil.
Aria mengangkat kepalanya, matanya membara. Ia ingin membalas, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Ia hanya mengangkat tangannya, menghapus keringat di dahinya, menunggu giliran kompetisi lari putra.
Ketika Fajar berdiri di garis start, Aria di tepi lapangan. “Ayo, jangan main-main kali ini!” katanya, suaranya keras, penuh rasa frustrasi. Fajar melirik sekilas, tersenyum samar, lalu mengangkat bahu.
Lomba dimulai. Fajar berlari pelan, malas, seolah tak peduli. Aria meninju udara, jengkel. “Serius sedikit, Fajar!” Ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri naik. Tubuhnya terasa tegang, seolah ikut berlari di tempat Fajar seharusnya berusaha.
Namun tiba-tiba, sesuatu berubah. Fajar menurunkan kepalanya, langkahnya mulai lebih cepat. Napasnya teratur, lengan dan kakinya bergerak dengan kecepatan yang tak ia tunjukkan sebelumnya. Aria berhenti bicara, menyaksikan dengan mata terbuka lebar.
Fajar melewati Budi. Kemudian Dito. Ia melesat melewati peserta lain, membuat jarak yang tak terjangkau lagi. Seluruh lapangan terdiam saat ia menyentuh garis finis. Nomor satu.
Aria tertegun. Maya, yang menyaksikan dari tepi lapangan, hanya menggeleng, tak berkata apa-apa. Tapi ada sesuatu di matanya, sesuatu yang Aria tak bisa baca. Ketika Fajar berjalan ke arah mereka, wajahnya tenang, terlalu tenang.
"Kau cuma main-main di awal, ya?" tanya Aria, suaranya rendah tapi penuh tantangan.
Fajar tersenyum tipis. "Aku cuma pemanasan."