Aria duduk di bangku taman sekolah, menatap kosong ke lembaran kertas di tangannya. Angka merah besar itu, 55, seolah-olah menyala di bawah terik matahari. Nilai Sejarah terendah di kelas. Rasanya seperti beban di dadanya semakin berat, menekan setiap kali ia mencoba menarik napas. Semua terasa salah, semua harapan itu, semua tekanan dari orang-orang di sekitarnya. Ia mendengar derap langkah mendekat.
“Lagi ngelamun?” Fajar berdiri di hadapannya, membawa senyum yang biasanya lebar, tapi kali ini lebih hati-hati.
Aria mendongak, menatapnya sebentar, lalu kembali menunduk. Tangannya meremas kertas ulangan itu, sebelum ia berkata dengan suara rendah, “Kamu gak perlu ada di sini.”
Fajar tidak langsung pergi, malah duduk di sampingnya, matanya mencoba membaca wajah Aria yang kusut. “Nilai jelek lagi?”
Aria menghela napas, dan kali ini suaranya lebih tajam. “Tentu saja jelek. Selalu jelek.”
“Kamu bisa belajar lebih keras. Gak seburuk itu kan?”
Aria mendengus, kepalanya tiba-tiba terasa panas. Ia memutar tubuh, menatap Fajar dengan mata menyala. “Gak seburuk itu? Kamu ngomong gampang! Kamu yang bikin semua makin sulit!” Suaranya naik, nadanya penuh kemarahan yang terpendam terlalu lama.
Fajar terkejut, tapi ia menahan diri untuk tidak membalas. “Apa maksudmu?”
Aria berdiri, menatapnya tajam. “Aku gak punya waktu buat belajar! Semua gara-gara kamu dan usilanmu. Berapa kali aku ikut dihukum karena ulahmu, ha?”
“Kamu salahin aku sekarang?” Fajar berdiri juga, suaranya mulai naik, tapi masih ada kontrol. “Aku gak maksa kamu ikutan dihukum, Aria. Itu keputusan guru.”
“Karena kamu! Karena kamu selalu cari masalah, dan aku selalu ada di situ, kena imbasnya.” Aria hampir berteriak sekarang, suaranya retak di ujung kalimat. Dadanya naik turun, emosinya tak terbendung lagi. “Kamu gak pernah mikir dampaknya ke orang lain.”
Fajar mendekat, suaranya pelan tapi tegas. “Aku gak tahu kamu merasa kayak gitu.”
Aria menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. Ia mencoba menahan, tapi suaranya bergetar. “Tiap malam aku cuma mikirin gimana caranya bisa ngejar pelajaran, tapi... tapi selalu ada yang bikin aku gagal. Dan kamu, kamu cuma... kamu cuma bikin semuanya lebih susah.”
Fajar terdiam. Ia mencoba meraih tangan Aria, tapi ia menepisnya.
“Aku gak butuh kamu,” Aria berbisik, hampir seperti memohon. “Aku butuh sendiri.”
Fajar menarik napas dalam-dalam. “Aria... Aku gak bermaksud nyusahin. Aku cuma... aku gak tahu kamu merasa kayak gini.”
Suasana semakin tegang, hening beberapa detik. Mata Aria masih menatap Fajar dengan kemarahan yang belum surut, tapi ada kelelahan di sana. Kelelahan dari semua tekanan, semua kegagalan yang ia rasakan terus menghantam dirinya.