Maya duduk di meja dapur, menatap Aria. Putrinya hanya memainkan garpu di piring, tidak menyentuh makanannya.
“Aria, aku bisa bantu kalau ada masalah di sekolah,” kata Maya.
Tidak ada jawaban. Keheningan mengisi ruangan.
Maya menggerakkan kursinya lebih dekat. “Latihan tinju itu mungkin terlalu banyak buatmu.”
Aria mendongak, matanya tajam. “Aku tidak mau berhenti, Bu.”
Maya menahan napas. “Coach Riko bilang kamu harus fokus. Sekolah itu penting.”
“Riko tidak mengerti,” Aria menjawab, suaranya membara. “Tinju memberiku kekuatan. Tanpa itu, aku merasa gagal.”
Maya merasa sakit di dadanya. “Kamu bukan gagal. Kamu sedang berjuang.”
Aria bangkit, gemetar. “Mudah untukmu berkata begitu.”
Maya mendekat, lembut. “Aku di sini untukmu. Kita bisa atur semuanya.”
Aria menunduk, napasnya berat. “Jadi aku harus berhenti?”
“Tidak. Hanya menunda. Fokuslah pada satu hal dulu.”
Air mata Aria mengancam. “Aku takut tidak akan kembali.”
“Kamu akan kembali, sayang. Ketika kamu siap,” Maya menjawab, meletakkan tangan di pundaknya.
Aria menatap lantai, merasakan air mata mendekat. Tapi dia menahannya, seperti biasa. "Baiklah, Bu," katanya akhirnya, dengan suara yang hampir patah.
Maya menatap Aria, senyum tipis mengembang di wajahnya. “Sebenarnya tadi coach Riko menyampaikan hal penting.”