Fajar duduk di kursi, matanya mengarah ke Aria. Di depan mereka, guru berbicara, tapi suaranya nyaris tak terdengar. Aria tidak mendongak; pensilnya menari di atas kertas, cepat dan bersemangat. Fajar menggigit bibir bawahnya, ketegangan mengisi dadanya. Ia ingin berteriak, tapi Aria terfokus pada catatannya, mengabaikan dunia sekitar. Ruang di antara mereka semakin melebar, hampa akan kata-kata. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan rasa cemas yang mengganggu pikirannya.
Ia meraih selembar kertas, melipatnya dengan cermat, lalu melemparkannya ke arah Aria. Kertas itu meluncur dan mendarat tepat di meja. Aria hanya melirik, kemudian kembali tenggelam dalam catatannya. Fajar merasa seperti hantu, tidak terlihat dan tidak terdengar.
Ia mengambil penghapus, mencoba sekali lagi. Dengan lembut, ia melemparkannya. Penghapus itu berputar sebelum berhenti di dekat Aria. Ia mengangkat kepala sejenak, lalu kembali fokus pada buku catatannya.
“Kamu tidak mau berbicara?” bisiknya. Tiba-tiba, guru menoleh. “Fajar! Fokus pada pelajaran!”
Fajar menunduk, wajahnya memerah. Di sampingnya, Aria terus menulis, tak mengindahkan kehadirannya. Ketidakmampuannya menarik perhatian Aria membuatnya merasa terjebak.
Bel istirahat berbunyi, menggema di ruang kelas. Fajar mengangkat kepala, melihat Aria sendirian, pensilnya menari cepat di atas kertas. Ia ingin mendekat, tetapi kakinya terpaku, setiap langkah terasa berat, seolah berjalan di atas pasir. Bayangan penolakan Aria menggerogoti keberaniannya.
Akhirnya, ia melangkah maju, mendekat ke arah Aria. Wajahnya bergetar antara harapan dan ketakutan, berdoa agar kali ini, mungkin, ia akan mendengar suaranya.
“Aria,” katanya lembut, berusaha tidak mengganggu. Aria tidak mengalihkan pandangannya. “Kamu tidak perlu marah padaku.”
“Pergilah, Fajar,” Aria membalas tanpa menatapnya. Suaranya tajam seperti pisau.
Fajar menahan diri. Rasa bersalahnya menggelayuti ia. “Aku minta maaf,” ujarnya, berusaha menurunkan nada. “Aku tidak bermaksud…”
“Tidak ada gunanya,” Aria memotong, tatapannya masih tertuju pada gambar-gambarnya.
Fajar merasakan kepalanya menunduk. Ia merasa seolah beban dunia ada di pundaknya. “Aku tidak mau membuatmu marah. Itu tidak adil.”
Aria menatapnya dengan skeptis, seolah menilai niat Fajar. Ia tidak berkata apa-apa, hanya diam. Fajar berharap ia tidak mengabaikannya sepenuhnya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Aria mengangguk pelan.
“Silakan duduk.” ucapnya, suaranya lebih lembut, meski nada marahnya masih menggelora.
“Terima kasih,” Fajar tersenyum, merasakan kelegaan mengalir. Ia duduk di sebelahnya, memecah keheningan yang melingkupi mereka.
Ia melihat gambar-gambar di sketchbooknya, dan keheningan itu sangat menyakitkan. “Wow, gambarmu bagus sekali. Apa ini lukisan karakter dari anime?”
Aria tersenyum, matanya terfokus pada kertas. “Iya. Ini sebenarnya ide untuk karakter baru. Tapi kamu tidak akan mengerti.”
Fajar menggoda, mengangkat alisnya. “Mengapa kamu menganggap aku bodoh? Aku juga punya imajinasi.”
“Imajinasi tidak sama dengan pengetahuan, Fajar. Perbedaan itu besar,” Aria menjawab sambil menggoyangkan pensil warnanya dengan percaya diri.
Fajar menatapnya, semangatnya terpancar di wajahnya. Ia menambahkan bayangan pada lukisannya, mengikuti jejak Aria. Gelak tawa mereka mengisi ruang kelas, saling mencuri pensil warna dengan riang. Saat bel pelajaran terakhir berbunyi, suara itu memecah keceriaan mereka. Dengan cepat, mereka mengumpulkan alat gambar, tangan Aria bergerak gesit menyusun kembali pensil-pensil warna yang berserakan, sementara Fajar mengusap pelipisnya yang berkeringat. Sebelum kembali ke tempat duduknya.
Setelah kelas berakhir, Fajar menunggu Aria di depan kelas. Ia menggenggam paket kecil di tangannya, berdebar-debar. Saat Aria keluar, rasa penasaran terlihat jelas di wajahnya.