Aria berdiri di ambang pintu gym, menggenggam tali tas dengan erat. Bau keringat, suara pukulan pada samsak, dan teriakan pelatihnya, Riko, menggema di ruangan. Jantungnya berdegup cepat, tapi ia menegakkan bahu dan melangkah masuk.
Riko, yang sedang mengatur posisi seorang petinju muda, menoleh dan mendapati Aria berdiri di sana. Mata tajamnya langsung terkunci padanya. Wajahnya datar, napas berat dan alis terangkat memberikan isyarat ketidakpuasan.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya dengan suara berat, tanpa basa-basi.
Aria menarik napas cepat, mencoba tetap tenang. “Aku sudah minta izin ke Ibu. Aku bisa bagi waktu, Coach. Aku tetap akan fokus sekolah, tapi aku juga mau ikut turnamen.”
Riko mendengus, mengusap lehernya dengan handuk penuh keringat. “Ibumu bilang kamu harus fokus sekolah. Sekarang kamu berdiri di sini. Kamu pikir kamu bisa jalani dua-duanya?”
“Aku bisa,” jawab Aria, suaranya tegas meski sedikit gemetar.
Riko menatapnya dengan pandangan ragu, seolah sedang mengukur apakah ia serius atau hanya mencari alasan. “Kamu mau ikut turnamen?” tanyanya, seperti menahan tawa. “Turnamen bukan main-main. Kamu siap digebuk kalau gagal fokus?”
“Aku siap,” jawab Aria cepat. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengacungkannya. “Kalau Coach nggak percaya, telepon Ibu sekarang.”
Riko tidak bergerak. Ia hanya menyipitkan mata. “Aku nggak perlu telepon. Kalau kamu benar-benar serius, ambil sarung tangan dan mulai latihan.”
Aria tertegun sejenak, merasa lega sekaligus terintimidasi. Namun, sebelum ia bisa melangkah, Riko menahan langkahnya dengan satu pertanyaan tajam.
“Kenapa ibumu nggak datang?” tanyanya, seperti sedang mencari celah. “Kalau kamu boleh latihan, kenapa dia nggak di sini?”
Aria meneguk ludah. “Ibu ada urusan. Dia percaya aku bisa urus ini sendiri.”
Riko menyeringai samar, tapi bukan senyuman hangat—lebih seperti tantangan. “Kalau begitu, buktikan. Tapi dengar, Aria.” Ia mencondongkan tubuh, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Aria. “Ini bukan sekadar ikut-ikutan. Kamu masuk sini, kamu bertarung seperti semua orang di sini. Tidak ada pengecualian karena kamu perempuan atau karena ibumu.”
“Aku tidak minta pengecualian, Coach,” katanya, tetap tegak.
Riko mengangguk pelan, seolah akhirnya mendapati sesuatu yang ia cari. “Baik. Pakai sarung tangan, lima menit lagi di ring. Jangan pikir kamu datang sini cuma buat jalan-jalan.”
Aria menegakkan bahu. “Siap, Coach.”
Ketika ia berbalik menuju rak perlengkapan, ia tahu satu hal: Ini bukan tentang ibunya, bukan tentang Riko yang skeptis. Ini tentang dirinya sendiri, dan hari ini adalah langkah pertamanya untuk membuktikan kalau ia punya tempat di ring, dengan atau tanpa restu siapa pun.
Riko menatapnya sebentar, lalu berteriak pada petinju di sebelahnya, “Hey! Siap-siap, kita punya petarung baru hari ini. Dan jangan kasih dia mudah!”
Aria menarik sarung tangan dengan kuat, napasnya mulai stabil. Tidak ada lagi keraguan di dadanya. Di sini, di bawah tatapan dingin Riko dan suasana keras gym, ia tahu: ia harus bertarung.
Aria berdiri di tengah gym, jantungnya berdebar kencang. Sarung tangan tinju yang membungkus tangannya terasa berat, tapi ia menggenggam erat, berusaha mengabaikan rasa canggung di tubuhnya. Riko memandangnya dari sudut ring, ekspresinya dingin, hampir tanpa emosi.
“Masuk ring,” perintahnya singkat. Aria tidak membantah, menaiki tali ring dengan cepat.
Di depannya berdiri seorang petinju laki-laki seusianya, dengan tubuh kekar dan mata penuh rasa percaya diri. Riko menunjuk lawannya dengan dagu.
“Ini Aldo. Dia tidak akan kasih ampun,” katanya dengan nada datar. “Kamu minta latihan? Ini latihan.”