Pagi itu, Aria menggeliat di atas kasur, setiap otot di tubuhnya terasa nyeri. Ia menatap langit-langit kamar, malas bergerak. Namun suara ibunya, Maya, terdengar tegas dari balik pintu.
“Aria, bangun! Kamu udah telat sekolah!”
Aria tersentak, jantungnya berdebar. “Apa?! Telat?” Ia melompat dari tempat tidur, tubuhnya protes karena rasa pegal.
Maya menyodorkan roti sambil menatapnya dengan cemas. “Cepat, ini hari terakhir kalau kamu nggak mau dimarahi guru.”
Aria mengunyah cepat sambil meraih tasnya, menyesal karena sparring terlalu keras kemarin. Untungnya guru di kelas memahaminya, dan ia berhasil mengikuti pelajaran tanpa masalah—setidaknya sampai istirahat tiba.
Aria duduk bersama Vina di dalam kelas, berbincang santai. Obrolan mereka terhenti ketika Fajar, Budi, dan Dito menghampiri.
Fajar langsung membuka percakapan dengan senyum lebar. “Aria, nonton basket yuk. Kami mau latihan.”
Vina menatap Aria dengan mata yang tak berkedip, tangannya terlipat di dada.
Fajar mendengus, menatap Aria dengan harapan. “Sekali ini aja.”
Aria menggelengkan kepalanya “Nggak bisa. Belajar itu lebih penting.”
Fajar mengangkat alis, tidak menyerah. Ia melihat ke arah Vina. “Ada Dika, kapten tim basket, Vin. Kamu mau ketemu kan?”
Vina dari tadi bungkam, wajahnya berubah penuh antusias. “Serius? Dika ada?”
Budi dan Dito saling pandang dan tertawa kecil. Fajar terkekeh. “Iya. Kapten favoritmu.”
Vina tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Fajar, menikmati kekalahannya dalam perdebatan ini, melontarkan lelucon iseng. “Suatu hari nanti, kalau aku jadi kapten dan kamu nyatain cinta, kamu bakal jadi cewek pertama yang kutolak.”
Aria menahan tawa, Vina malah tersenyum sinis. “Terima kasih udah kasih tahu. Berarti aku nggak perlu nyatain cinta, kan udah tahu bakal ditolak.”
Fajar terdiam, tidak siap dengan balasan seperti itu. Budi dan Dito tertawa terbahak-bahak.
“Kalau kamu nyatain cinta ke kami juga,” kata Dito sambil nyengir, “kami juga bakal nolak, Vin.”
Vina memutar mata, tidak terkesan. “Kalian bukan anggota basket. Kalian cuma teman main Fajar.”
Fajar mendadak serius. “Tunggu aja. Kalau aku jadi kapten, mereka berdua pasti kuangkat jadi anggota.”
Aria tidak bisa menahan diri. “Curang! Jadi anggota basket itu karena bisa main, bukan karena kenal kaptennya.”
“Bisa main kok,” bantah Fajar. “Mereka jago.”
Budi dan Dito tampak bangga. “Buktikan sekarang aja,” kata Budi sambil menyikut Dito.
Tanpa pikir panjang, mereka mulai bermain basket di kelas. Bola berpindah cepat dari tangan ke tangan. Fajar memimpin permainan, memantulkan bola dengan percaya diri.
“Lempar ke sini, Budi!” teriak Dito.
Budi melempar bola dengan kekuatan penuh. Dito tidak siap menangkap—bola itu melesat terlalu cepat, dan…
CRAK!
Suara kaca pecah memenuhi ruangan. Bola menghantam jendela dan membuat pecahan kaca berhamburan. Mereka berlima langsung terdiam, membeku di tempat.
“Wah, mati kita,” bisik Budi, wajahnya pucat.
Vina menatap mereka dengan mulut ternganga. “Kalian gila…”
Fajar menelan ludah. “Tenang. Kita bisa jelasin...”
Langkah kaki terdengar di lorong, semakin mendekat. Dito mendesis. “Pak Wahyu… Dia pasti datang!”
Aria mengangkat alis, berusaha menahan tawa tapi gagal. “Jadi jago main basket ya? Sampai kaca pecah.”
Fajar mendekat ke Aria, suara bisiknya tegang tapi bercampur tawa panik. “Ini bukan waktu buat bercanda, Aria.”
“Loh, kan kamu yang bilang mereka jago.”
Fajar menghela napas, lalu menatap teman-temannya. “Oke. Rencana darurat. Kita kabur.”
Budi dan Dito langsung bergerak, siap-siap lari. Tapi sebelum mereka bisa kabur, Pak Wahyu berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam.
“Siapa yang mau jelasin ini?” tanyanya sambil menunjuk kaca yang pecah.
Fajar, Aria, Budi, Dito, dan Vina saling pandang. Tidak ada yang berani bicara.