Wrung itu sunyi, hanya suara sapu Maya yang bergerak di antara rak-rak kayu. Debu tipis melayang di udara, tertangkap dalam sinar matahari sore yang menembus kaca jendela. Pak Hasan, duduk di balik meja kasir, jari-jarinya mengetuk mesin kasir. Sesekali dia memandang Maya yang dengan tenang menyusun barang. Lama-lama rasa penasaran menggeliat di benaknya.
"Kenapa kamu mau kerja di sini, Maya?" tanyanya akhirnya.
Maya menghentikan gerakan tangannya sejenak, tapi tidak menoleh. "Kenapa, Pak?"
"Bayarannya nggak seberapa. Kamu bisa dapat gaji lebih besar di kantoran," kata Pak Hasan, suaranya datar tapi langsung.
Maya menarik napas dalam, lalu kembali merapikan botol-botol minuman di rak. “Sejak menikah, saya jadi ibu rumah tangga. Suami saya, Andi, yang cari nafkah.”
Pak Hasan mengangguk pelan. "Tapi sekarang?"
Maya menyeka tangannya pada celemek. Matanya menerawang sejenak, seperti ada bayangan yang masih menghantuinya. “Sekarang Andi sudah nggak ada, Pak.”
Pak Hasan terdiam, merasakan sesuatu yang berat dalam kata-katanya. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi Maya melanjutkan.
“Bekerja di sini, paruh waktu, bikin saya bisa tetap sama Aria,” lanjut Maya dengan nada yang lebih ringan, seolah-olah mencoba mengangkat beban yang tak terlihat. "Dia satu-satunya yang saya punya. Dan lagi, saya bisa ikut latihan tinju bareng dia."
Pak Hasan tersenyum tipis. "Tinju?"
Maya mengangguk, kali ini menatap Pak Hasan dengan mata yang penuh ketegasan. "Tinju ngajarin saya gimana bertahan."
Pak Hasan menyandarkan punggungnya di kursi, mengusap janggutnya yang mulai memutih. “Kamu ini, Maya. Wanita kuat.”
Maya tertawa kecil, tapi tidak ada kegembiraan di dalamnya. "Kuat? Kadang saya sendiri nggak yakin, Pak.”
Pak Hasan mendengus. “Orang yang nggak yakin biasanya justru yang paling kuat.”
Maya tersenyum kecil, tapi matanya tetap serius. Saat itu juga, pintu toko terbuka dengan keras, dan suara bel di atasnya berdentang tajam. Seorang pria berjaket kulit masuk, matanya liar.
Pak Hasan langsung tegang. "Ada yang bisa dibantu, Mas?"
Pria itu tidak menjawab, melangkah cepat ke arah kasir. Tangan kirinya masuk ke dalam jaket. Insting Maya langsung menyuruhnya mundur selangkah. Pak Hasan juga tahu betul tanda-tanda ini—mereka sedang berhadapan dengan masalah besar.
"Kasih semua uangnya," pria itu mendesis. Tangan kanannya sudah menggenggam gagang pisau kecil.
Pak Hasan mengangkat kedua tangannya perlahan. "Tenang, Mas. Nggak perlu ada kekerasan."