Lampu dapur redup, menyisakan cahaya hangat di meja makan. Piring-piring bekas makan malam masih berserakan, Maya mengusap tangannya ke kain lap, lalu duduk berhadapan dengan Aria. Anak gadisnya, masih mengenakan hoodie kebesaran, meneguk sisa teh dari cangkir dengan santai. Tapi ia tahu, di balik sikap santainya, otak putrinya terus bekerja.
"Aku butuh bantuan kamu, sayang," katanya akhirnya. "Aku dan Pak Hasan mau bikin toko lebih aman. Tapi… aku yakin kamu punya ide yang lebih bagus."
Aria menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengangkat satu alis. "Gimana kalau sekalian ajak orang-orang sekitar? Bikin kayak program komunitas. Bisa latihan bela diri gratis, atau—entahlah, kegiatan apa aja yang seru. Biar mereka juga ikut peduli kalau toko kita bermasalah."
Maya menyandarkan siku ke meja, memandang anaknya dalam. “Maksud kamu, biar warga sekitar punya rasa kepemilikan sama toko?”
Aria mengangguk. “Iya. Kalau mereka merasa toko itu bagian dari lingkungan, mereka nggak bakal tinggal diam kalau ada yang coba bikin rusuh.” Ia berhenti sejenak. “Dan, Bu… kalau kita bikin latihan bela diri, kamu juga bisa narik lebih banyak perempuan buat ikut. Siapa tahu mereka kayak kamu, lagi cari tempat buat kuat.”
Maya terdiam, meresapi kalimat itu. Aria selalu punya cara bicara yang to the point, tajam tapi tulus. Kadang rasanya seperti mendengar versi muda dari dirinya sendiri. Tapi ada sesuatu di balik kata-katanya—seperti bayangan kekhawatiran yang tak pernah diungkapkan langsung.
“Kamu takut?” tanya Maya, pelan.
Aria mengangkat bahu, matanya menghindar. "Aku cuma nggak mau kita terus-terusan nunggu masalah datang. Tadi di toko, kalau nggak ada polisi, siapa yang tahu apa yang bakal terjadi?"
Maya mendekatkan kursinya, hingga jarak mereka hanya sebatas meja makan. "Kamu benar. Kita nggak bisa cuma bertahan. Harus bikin langkah duluan."
Aria menatap ibunya, mata cokelatnya berbinar meski sorotnya masih menyimpan kekhawatiran. "Jadi? Kita jalanin program itu?"
Maya tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Iya. Tapi kita juga butuh lebih dari sekadar program. Kamu tahu nggak apa lagi?”
Aria mengerutkan dahi. “Apa?”
“Kita butuh kamu, sayang.” Maya menatapnya dengan serius. "Nggak cuma idenya. Aku butuh kamu buat bantu di toko. Kamu bisa bikin orang percaya. Kamu tahu itu."
Aria terdiam beberapa detik, lalu bibirnya melengkung dalam senyum samar. “Oke, Bu. Sekalian buat latihan rutin untuk diri kita sendiri. Deal?”
Maya tertawa, lega sekaligus bangga. “Deal.”
Aria berdiri, mengambil piring dari meja dengan satu gerakan cepat. "Kalau gitu, aku mulai dengan ini. Nggak ada gunanya ngomong soal disiplin kalau piring sendiri aja nggak diberesin."