Toko kecil Pak Hasan terasa lebih sibuk dari biasanya. Maya dan Aria bekerja cepat. Rak-rak sudah dipindahkan mendekati dinding untuk memberikan ruang pandang lebih luas dari kasir. Kamera CCTV baru juga sudah terpasang di sudut-sudut strategis. Ini bukan sekadar hari biasa. Mereka sedang bersiap.
Aria menyapu lantai dengan gerakan cepat, sesekali melirik ke luar jendela. “Apa menurut Ibu mereka bakal datang lagi?” tanyanya pelan.
Maya mengangkat bahu sambil menyusun barang di rak. “Kalau mereka datang, kita siap.”
Pak Hasan duduk di belakang meja kasir, wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya. "Semoga rencana kalian berhasil. Kalau gagal, saya rugi banyak lagi."
"Makanya, kita nggak boleh gagal, Pak," Aria menyahut cepat, mengangkat sapu seperti seorang prajurit yang siap bertempur.
Pak Hasan mengernyit, sedikit ragu. “Kalian yakin melibatkan tetangga itu ide bagus? Mereka bukan polisi.”
Maya menoleh ke arah Aria, memberi isyarat dengan tatapan bahwa sekarang adalah saatnya untuk percaya. "Kita nggak bisa terus-terusan mengandalkan polisi yang datang terlambat. Tetangga tahu situasi di sini lebih baik."
Aria menambahkan, “Mereka juga punya kepentingan. Kalau toko ini tutup, mereka susah belanja.”
Pak Hasan mendesah panjang. “Semoga saja mereka benar-benar datang kalau dibutuhkan.”
***
Sekitar pukul dua siang, lonceng di atas pintu toko berdering. Dua pria berjaket hitam masuk, langkah mereka lamban namun penuh maksud. Maya dan Aria bertukar pandang. Ini saatnya.
Pak Hasan pura-pura sibuk dengan kalkulator di kasir. Aria berdiri di belakang rak, siap dengan ponselnya untuk merekam gerak-gerik mereka.
Salah satu pria bersandar ke meja kasir, tatapannya dingin. “Kayaknya hari ini toko sepi ya, Pak?”
Pak Hasan menelan ludah, tapi ia bertahan. “Iya, tapi ada yang bisa dibantu?”
Pria kedua mulai mendekati rak tempat Maya berdiri. Ia menyentuh beberapa barang, seolah-olah memilih sesuatu. “Barang bagus-bagus, sayang kalau ada yang rusak.”
Aria menggertakkan gigi. Ancaman halus. Maya tetap tenang, tapi tubuhnya menegang. Ini momen krusial.
“Kalau cuma mau lihat-lihat, silakan,” Maya berkata tanpa emosi, matanya tajam seperti pisau. “Tapi kalau mau macam-macam, banyak yang memperhatikan.”
Pria pertama tertawa kecil. “Memperhatikan? Maksudnya siapa?”
Saat itu, suara langkah kaki terdengar dari luar. Beberapa tetangga masuk ke toko, seolah-olah tanpa sengaja, tetapi setiap gerakan mereka penuh makna.
“Sore, Pak Hasan,” sapa salah satu dari mereka, seorang pria paruh baya dengan tangan penuh belanjaan. “Ada promo apa hari ini?”
Pria berjaket saling melirik, ekspresi mereka berubah gugup.
Maya tersenyum tipis. “Promo besar. Beli apa saja, dapat pelayanan ekstra—dari kami dan tetangga.”
Ketegangan terasa di udara. Aria mencengkeram ponselnya erat-erat, siap merekam jika situasi memburuk.
Pria kedua melangkah mundur, kehilangan nyali. “Ayo pergi,” gumamnya pada rekannya.
“Cepat,” desak pria pertama. Mereka melangkah mundur menuju pintu, tapi sebelum keluar, dia menatap Maya.
Maya tidak bergeming, tetapi kembali menatapnya. Begitu mereka pergi, ia menghela napas panjang, dan ketegangan di toko pun mencair. Pak Hasan tertawa gugup, masih gemetar sedikit.
“Kalian gila, tapi luar biasa,” katanya sambil menyeka keringat.
Aria menyeringai. “Kan udah dibilang, Pak. Tetangga lebih efektif daripada CCTV.”