Aria masih terpaku di tempat, memegang sarung tinju dengan tangan gemetar. Di seberang ruangan, Anton berdiri dengan tenang, seperti predator menunggu mangsanya. Matanya datar, tanpa emosi, dan ia memutar pergelangan tangannya, membuat sarung tinju berdecit. Riko melipat tangan di dada, memperhatikan mereka dengan tatapan tajam, sabar menunggu keputusan.
"Dia bukan lawan Aria," suara Maya memecah kesunyian. Tatapannya terarah pada Riko, dingin dan pasti. "Kalau kamu mau sparring, aku yang akan hadapi dia."
Riko menyipitkan mata. "Ini bagian dari latihan, Maya. Kalau Aria mau ikut turnamen, dia harus siap lawan siapa pun."
"Dia baru belajar," balas Maya cepat, suaranya sedikit bergetar. "Aku nggak mau dia terluka."
Anton hanya tersenyum kecil di sudut bibir, hampir mengejek. Ia melangkah maju, menepuk sarung tinju di kedua tangannya dengan bunyi berat. "Apa bedanya? Lawan itu lawan."
Maya melangkah ke depan, berdiri di antara Aria dan Anton, seperti perisai hidup. "Kalau kamu ingin bertarung, hadapi aku," katanya, matanya menyala dengan tekad yang membuat Aria menahan napas.
Riko mendesah, mengangkat bahu seolah menyerah. "Baik, terserah. Tapi jangan salahkan aku kalau dia tidak belajar apa-apa."
Anton mengangkat dagunya, matanya menantang Maya. "Kita mulai atau gimana?"
Maya menatapnya tanpa gentar. "Kita mulai sekarang."
Aria melangkah mundur dengan jantung berdebar-debar. Ia melihat ibunya tegas, tak tergoyahkan. Maya mengambil sarung tinju dari tangan Aria, menariknya dengan cepat ke kedua tangannya.
Mereka naik ke ring. Riko berdiri di sisi, wajahnya datar, sedikit terhibur melihat perkembangan yang tak ia duga ini. "Sparring lima menit. Jangan ada yang mundur," katanya singkat.
Maya menekuk lututnya sedikit, tangan terangkat, siap bertahan. Anton menatapnya tanpa emosi dan melangkah maju dengan gerakan ringan tapi penuh keyakinan.
Detik pertama berlalu tanpa pukulan. Mereka berputar di sekitar ring, saling mengukur. Lalu Anton menyerang, tinjunya meluncur lurus menuju wajah Maya. Maya menghindar dengan sigap, tapi Anton cepat—lebih cepat dari perkiraannya. Tinju kedua hampir mengenai rahangnya, tapi Maya menangkis dengan lengan bawah dan mundur setengah langkah.
Aria mencengkeram tali di sisi ring, tubuhnya tegang. "Ibu, hati-hati!" serunya.
Anton terus menyerang tanpa henti, kombinasi pukulan yang cepat dan tajam. Maya menangkis dan menghindar, tapi setiap gerakan terasa seperti pertarungan melawan waktu. Napasnya mulai memburu.
Namun Maya tak gentar. Saat Anton melancarkan uppercut, dia melihat celah—dan menyerang balik. Tinju keras mendarat tepat di rusuk Anton. Anak itu terhuyung mundur, tapi ekspresinya tetap datar, seolah rasa sakit adalah hal biasa baginya.
"Bagus," ujar Anton dengan nada rendah. "Tapi masih kurang cepat."
Ia maju lagi, lebih agresif. Tinju-tinjunya kini semakin sulit ditebak. Maya bertahan mati-matian, tapi jelas Anton lebih terlatih. Sebuah hook mengenai bahunya, membuatnya sedikit oleng.
Aria ingin berteriak agar mereka berhenti, tapi Maya menatapnya sejenak dari sudut matanya—tatapan yang berkata, Aku baik-baik saja. Percayalah padaku.
Riko mendekat ke tali ring, suaranya dingin. "Kalau kau mundur sekarang, Maya, dia tidak akan pernah hormat padamu."
Maya tersenyum tipis, meski napasnya mulai berat. "Aku tidak akan mundur."
Maya tidak mundur. Hingga bel berbunyi lima menit kemudian, ia tetap berdiri tegak. Anton menghentikan serangannya, sedikit terengah, tapi tatapannya kali ini berbeda—ada rasa hormat di sana, samar tapi nyata.
Maya melepas sarung tinju dan menatap Anton dengan tenang. "Lain kali, coba hargai orang sebelum kamu pukul mereka."
Anton mengangguk kecil, tak berkata apa-apa, lalu turun dari ring dengan sikap santai, seolah semua ini hanya latihan biasa baginya.
Aria bergegas mendekati ibunya. "Ibu! Kenapa kamu lakukan itu?"
Maya mengusap keringat dari wajahnya dengan punggung tangan dan tersenyum. "Kadang kamu harus tunjukkan kalau kamu nggak takut, sayang. Bahkan kalau lawanmu lebih kuat."
Riko menggelengkan kepala, sedikit tersenyum. "Kalian ini keras kepala. Tapi aku suka."
Aria menatap ibunya dengan campuran kekaguman dan kebingungan. “Ibu bener-bener nekat.”