Aria mempercepat langkahnya, punggungnya tegang. Sepatu Fajar masih terdengar mengikuti di belakang, tak ada jeda. Napasnya terdengar ringan, seakan tak ada beban.
“Kamu kemana aja weekend?” tanya Fajar, suaranya nyaris ceria. Ia selalu begitu—berlagak santai, seolah dunia adalah taman bermain.
Aria tak menjawab. Matanya lurus ke depan, mengabaikan basa basi. Fajar melangkah lebih cepat, sejajar dengannya. “Aku main basket. Terus jogging, terus futsal...” Ia menepuk dadanya. “Makanya aku kelihatan bugar gini.”
Langkah Aria tetap cepat, tapi perutnya mengencang. Fajar tak pernah lelah berusaha menarik perhatian—persis seperti anak kecil yang terus merengek minta dibelikan permen.
Di belakang mereka, Budi dan Dito berjalan sambil berbisik dan sesekali tertawa. Aria tahu mereka hanya menunggu sesuatu terjadi, seperti serigala mengintai mangsa.
Fajar bergerak mendahuluinya dan tiba-tiba berhenti tepat di depannya. Aria nyaris menabrak bahunya.
“Kamu kenapa sih? Marah sama aku?” Fajar menatapnya dengan seringai kecil di sudut bibir.
Aria berhenti dan mendongak. Rahangnya mengeras seolah ingin menahan kata-kata tajam. “Aku bilang jangan ganggu aku, ngerti?” Matanya melotot, suaranya rendah tapi tajam seperti pisau.
Fajar tidak mundur, malah tertawa kecil, menatap mata Aria yang membara. “Tatapanmu menusuk jantungku, tahu?” katanya, suaranya pelan tapi cukup untuk memancing tawa teman-temannya di belakang.
Aria tertegun, pipinya memanas. ia meremas ujung bajunya, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju pintu kelas. Kakinya terasa berat, meskipun ia tak ingin terlihat lari.
“Blush on alami!” Fajar menyindir sambil terkekeh. Budi dan Dito tertawa di belakangnya, penuh kemenangan.
Di dalam kelas, Aria menundukkan kepala, memutar-mutar pensil di antara jarinya. Ia merasa campur aduk—antara marah, malu, dan bingung. Selalu seperti ini dengan Fajar. Ia muncul tanpa diundang, seperti badai kecil yang mengacaukan segalanya.
Saat Fajar dan teman-temannya masuk, masih dengan tawa lepas, Aria menggenggam buku di meja dengan erat. Ia tahu ini belum berakhir.
***
Kelas terasa sunyi, hanya terdengar gesekan pensil di atas kertas. Aria menunduk dalam-dalam, matanya terpaku pada soal-soal ulangan Sejarah. Tangannya bergerak cepat, seolah ia ingin menyelesaikan semuanya sebelum waktu habis. Ia mengabaikan segala sesuatu di sekelilingnya, terutama Fajar.
Fajar yang duduk di sebelahnya, meskipun ia memegang pensil, pikirannya jauh dari soal di depannya. Tatapannya bolak-balik menuju Aria, mencari alasan untuk menyapanya, atau sekadar memastikan ia masih ada di sana. Mata Fajar memicing, memperhatikan bagaimana rambut Aria jatuh sedikit di bahunya, bagaimana jemarinya bergerak lincah.
Ia tak sadar kapan Bu Mira, guru Sejarah, muncul di sebelahnya.
“Fajar,” katanya dingin, suaranya pelan tapi tegas. “Kamu fokus ke kertas ulangan, ya? Jangan cari contekan.”
Fajar terkejut. Ia menegakkan tubuhnya, menoleh cepat ke arah Bu Mira. “Saya nggak nyontek, Bu. Beneran.”
“Lalu kenapa kamu sibuk olahraga kepala begitu?” Mata Bu Mira menyipit, tak ada belas kasih.
Fajar nyengir, seakan mencoba meringankan situasi. “Nggak, Bu. Saya cuma—” Dia berusaha mencari alasan. “—melatih otot leher.”
“Fokus ke kertas. Jangan ganggu yang lain,” potong Bu Mira. Nadanya tidak membuka ruang untuk negosiasi.
Aria mendengar percakapan itu tanpa menoleh. Ia tahu, tanpa melihat pun, bahwa Fajar pasti sedang menatapnya dengan seringai bodoh.
Fajar melirik kembali ke arah Aria, dan kali ini ia berusaha menahan tawa. Tapi Aria tak memberinya kesempatan. Ia tetap fokus pada ulangannya, berusaha keras mengabaikan segalanya. Napasnya pelan namun dalam, menenangkan dirinya sendiri. Ini hanya ulangan. Ini hanya Fajar. Tidak lebih.
Di sebelahnya, Fajar menggoyangkan pensil di antara jarinya, mencoba menghilangkan rasa bosan. Tapi pikirannya terus kembali ke Aria. Dan kali ini, lebih dari sekadar iseng.
Saat Bu Mira berbalik pergi, Fajar berbisik pelan—cukup pelan untuk tidak terdengar oleh guru, tapi cukup keras agar Aria mendengarnya.