Aria berdiri di ambang pintu. Maya sedang merapikan barang di rak belakang, tangannya cekatan menyusun kotak demi kotak.
"Ibu," panggil Aria.
Maya menoleh, melihat putrinya dengan alis terangkat. "Ada apa, sayang?"
Aria mendekat, merasa detak jantungnya masih belum stabil sejak percakapannya dengan Fajar. “Fajar bilang turnamen tinju lokal dimajukan. Ibu tahu apa-apa soal itu?”
Maya berhenti sejenak, lalu menggeleng sambil mengusap tangannya dengan celemek. “Belum dengar apa-apa dari Riko. Mungkin cuma rumor.”
Aria meremas tangannya, perasaan gelisah tak mau hilang. “Tapi Fajar bilang dia tahu dari orang dalam. Dan kenapa dia tahu lebih dulu daripada kita?”
Maya mendesah pelan, matanya menatap putrinya dengan tenang, tapi tegas. “Itu nggak penting. Yang penting kamu siap, kapan pun turnamennya diadakan.”
"Tapi kenapa Fajar selalu tahu lebih dulu?" Aria mendesak, frustrasi menguasai nadanya.
Maya menepuk pundak Aria dengan lembut namun pasti. “Jangan buang energi buat hal-hal yang di luar kendalimu. Fokus latihan. Nanti di gym kamu bisa tanya langsung ke Riko.”
Aria menatap ibunya, hatinya masih penuh keraguan dan pertanyaan. “Dan kalau benar dimajukan, apa aku siap, Bu?”
Maya menarik napas panjang, wajahnya serius namun lembut. “Kamu bakal siap. Bukan karena kita tahu semua info atau kapan jadwal berubah. Tapi karena kamu terus berlatih. Itu yang penting.”
Aria merasakan desakan dalam dirinya, rasa takut bercampur dengan harapan. “Tapi kalau—”