Maya melangkah ke teras rumah Riko, matanya bertemu dengan sosok pelatih itu yang duduk santai, rokok terselip di antara jari-jarinya. Begitu melihat Maya datang, Riko mematikan rokoknya di asbak dan berdiri, memberikan isyarat agar ia masuk.
“Masuk saja, Maya,” katanya, nada suaranya tenang seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berat di baliknya.
Maya melangkah masuk ke ruang tamu kecil itu. Di dinding, berjejer foto-foto para petinju yang pernah dilatih Riko. Mereka semua tersenyum—beberapa dengan wajah penuh luka, tapi tetap bangga. Ia memperhatikan setiap foto sampai pandangannya berhenti pada satu gambar: Anton, dengan senyum sinis dan bandana kumal melingkar di kepalanya.
Riko menyadari diamnya Maya. “Kenapa, Maya?”
Ia menggeleng pelan, tapi tetap menatap foto Anton. “Bisa-bisanya Anton ada di sini? Dia kan cuma pembuat onar.”
Riko terkekeh, seperti mendengar lelucon lama. “Anton memang suka bikin masalah. Tapi dia punya hati. Dia nggak seburuk yang kamu kira.”
Maya mendengus skeptis. “Hati? Anak itu pernah bikin rusuh di toko Pak Hasan. Memalak orang-orang. Itu bukan hati baik, Riko.”
Riko mengangkat bahu, seakan semua hal itu tidak terlalu penting baginya. “Dia cuma cari cara buat bertahan. Neneknya yang tua itu nggak bisa kontrol dia, dan ibunya... sudah sibuk dengan keluarga baru. Ayahnya pergi bertahun-tahun lalu dan nggak pernah kirim kabar. Anak kayak Anton? Dia nggak punya banyak pilihan.”
Maya mendengar kata-kata itu dengan berat di dada. Anton bukan sekadar anak nakal—dia adalah korban dari kehidupan yang meninggalkannya tanpa arah.
Riko melanjutkan, suaranya lebih pelan kali ini. “Hampir sama kayak Fajar, sebenarnya. Anak itu juga banyak masalah.”
Dia mengerutkan keningnya. “Fajar? Tapi dia... selalu tampil percaya diri. Meski bandel.”
Riko tersenyum tipis, nyaris pahit. “Iya, karena dia harus. Orang tuanya jarang ada di rumah. Mereka sibuk dengan urusan di luar negeri, cuma kirim uang. Jadi Fajar tumbuh denganku. Dia nakal, aku tahu, tapi aku biarin dia bikin kesalahan. Biar dia belajar tanggung jawab sendiri.”
Maya terdiam, mencoba mencerna semua ini. Dunia di luar gym dan toko ternyata jauh lebih rumit daripada yang dibayangkannya.
“Kamu nggak bisa cuma lihat nakal dan baik kayak warna hitam-putih, Maya,” Riko berkata, sambil menyandarkan diri di sofa. “Mereka semua berjuang dengan caranya masing-masing.”
Ia menghela napas panjang, merasa seolah terbentur realitas yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Kehidupan yang keras tak hanya milik ring tinju—itu juga hidup di luar sana, dalam diri anak-anak seperti Anton dan Fajar.
“Tapi bukan berarti mereka boleh bikin onar begitu saja,” Maya bersikeras, meski suaranya kini terdengar lebih lembut.
Riko mengangguk, senyum tipis masih di wajahnya. “Tentu saja. Tapi kalau mereka nggak diberi kesempatan, siapa lagi yang mau peduli sama mereka?”
Keheningan menggantung di antara mereka. Di luar, suara angin berdesir pelan, membawa sepotong ketenangan di tengah percakapan yang berat. Ia tahu, Riko benar. Tapi menerima kebenaran itu bukanlah hal yang mudah.