Aria menatap lembar ulangan di tangannya. Angka 80 terpampang jelas. Tidak sempurna, tapi jauh lebih baik dari 55. Ia menarik napas lega.
Vina muncul di sampingnya, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Aria! Gimana nilainya?” tanyanya dengan antusias, seperti sudah tahu jawabannya.
Aria menoleh, memperlihatkan kertasnya. “Lumayan,” katanya sambil tersenyum kecil.
Vina mengangguk, senang. “Aku juga dapat 85, sama kayak ulangan sebelumnya!”
Aria tertawa pelan. “Kamu nggak berubah, ya. Konsisten banget.”
Vina tertawa, lalu sedikit menunduk, suaranya lebih rendah. “Waktu itu aku lihat kamu dapat 55, makanya aku nggak cerita. Nggak mau bikin kamu tambah sedih.”
Aria tersenyum tipis, mengerti maksud baik Vina. “Ya, nggak apa-apa. Sekarang 80. Aku juga senang, ternyata bisa lebih baik.”
Di pojok meja, Budi dan Dito sibuk berdebat sambil melirik kertas ulangan mereka. “75 tuh, lumayan, kan?” kata Budi dengan bangga.
“Cuma lumayan karena kita kerja sama!” sindir Vina tajam, matanya menyipit.
“Bukan nyontek! Kerja sama,” Dito membela sambil menatap Vina tajam.
Budi menimpali. “Itu beda, Vin. Ini namanya strategi.”
Aria menggeleng pelan sambil tersenyum, lalu melirik ke arah Fajar yang duduk di ujung meja. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja seperti pemain drum, irama berdenyut seolah ia tidak peduli dengan dunia sekitarnya.
“Fajar,” panggil Aria dengan nada menggoda, “dapat berapa kamu?”
Fajar menoleh pelan, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Tanpa berkata sepatah pun, ia menyodorkan kertas ulangan itu ke tengah meja.
Aria mengambil kertas itu dan membacanya. Mata mereka semua membelalak. Angka 100 terpampang jelas di bagian atas kertas itu.
“Seratus?” bisik Aria, hampir tidak percaya.
Vina mendekat, ikut membaca ulang seolah ada kesalahan. “Seratus, Fa? Serius? Kapan kamu belajar?”
Fajar hanya tersenyum tipis, ekspresinya santai seolah angka itu tidak berarti apa-apa. “Kalian pikir cuma karena aku bandel, aku nggak bisa belajar?”
Aria masih menatap kertas itu dengan kening berkerut. “Tapi... kamu nggak pernah kelihatan belajar.”
Fajar mengangkat bahu, matanya menyipit penuh misteri. “Belajar bukan berarti harus kelihatan, kan? Kadang... aku belajar diam-diam.”
Dito menyipitkan mata, mencurigai. “Atau kamu nyontek dari guru?”
Fajar menatap Dito tajam, senyum dingin menghiasi wajahnya. “Kamu pikir bisa nyontek dan dapat 100?”
Suasana di antara mereka tiba-tiba berubah tegang. Tidak ada yang berani bicara. Vina menatap Aria dengan alis terangkat seolah berkata, Ini aneh, kan?
Aria menyelidiki ekspresi Fajar, mencari celah di balik senyuman misteriusnya. Tapi tidak ada yang bisa ia temukan. Hanya ketenangan. Dan sedikit kesombongan.
“Hebat,” gumam Aria akhirnya, sedikit enggan mengakui.
Fajar mengangkat kertasnya kembali, mengibas-ngibaskan seperti kemenangan kecil. “Aku cuma kasih tahu kalian, jangan remehkan orang. Bandel bukan berarti bodoh.”