Suara sepatu bergesekan dengan lantai memenuhi ruangan latihan. Di sudut ruangan, beberapa petinju memukul samsak dengan tempo keras, tapi suasana terasa lebih berat dari biasanya. Mereka para petinju yang akan mengikuti kompetisi berkumpul dalam lingkaran, menunggu Riko membuka mulut.
Riko berdiri tegak di tengah mereka, matanya tajam memindai setiap wajah. Tak ada basa-basi. “Turnamen dimajukan,” katanya pendek. “Dua minggu lagi. Bukan sebulan. Itu berarti, kita nggak punya waktu buat santai.”
Aria merasakan ada beban baru menekan dadanya, tapi ia menahan diri. Di sisinya, beberapa petinju terlihat gelisah, saling pandang dengan khawatir.
Riko menyilangkan tangan di dada. “Ada yang mau keluar sekarang? Kalau kalian nggak yakin, ini saatnya. Lebih baik berhenti sekarang daripada tumbang di atas ring.”
Tak ada yang bergerak. Hening. Riko tersenyum tipis. “Bagus. Itu yang saya mau dengar.” Ia berjalan memutar di sekitar mereka, seperti seekor elang mengawasi mangsanya.
“Dengar baik-baik,” katanya. “Lawan kalian di atas ring nggak peduli siapa kalian. Nggak peduli seberapa keras kalian latihan, atau masalah apa yang kalian hadapi di rumah. Mereka cuma peduli satu hal—menjatuhkan kalian. Kalau kalian ragu, itu cukup buat bikin kalian kalah.”
Aria mengepalkan tinjunya tanpa sadar. Keringat di pelipisnya mulai mengalir, tapi ia tidak mengelapnya. Riko berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.
“Aria, kamu ngerti maksud aku?”
Aria menatap balik tanpa ragu. “Iya, Coach.”
“Bagus,” katanya, lalu melanjutkan dengan nada lebih keras. “Tapi siap nggak cukup. Di atas ring, kalian harus jadi yang paling haus kemenangan. Kalau ada keraguan, lawan bakal mencium itu. Dan begitu kalian kehilangan fokus—satu detik saja—selesai.”
Salah satu petinju, Aldo, angkat bicara. “Coach, lawan kita kali ini ada Irene, kan? Dia juara tahun lalu.”
Riko menatap Aldo sejenak, lalu tertawa pelan. “Kalian takut sama Irene?”
Aldo mengangkat bahu, mencoba menyembunyikan keraguannya. “Dia besar, Coach.”
Riko mendekat, menepuk bahu Aldo dengan keras. “Dengar, besar atau kecil, nggak ada artinya kalau kalian nggak takut. Kalian pikir Irene nggak pernah kalah? Setiap orang yang masuk ring bisa jatuh. Termasuk kalian. Termasuk dia.”
Semua diam. Riko berjalan ke arah samsak dan memukulnya sekali dengan keras, membuat beberapa orang terlonjak.
“Di ring, cuma ada dua pilihan—kalian menang, atau kalian belajar. Nggak ada yang namanya kalah kalau kalian bangkit lagi,” katanya. “Aku nggak peduli seberapa kuat lawan kalian. Yang aku peduli, kalian semua keluar dari ring dengan kepala tegak.”
Aria merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Kata-kata Riko menancap, seperti suntikan adrenalin. Ini bukan soal lawan, bukan soal menang atau kalah. Ini soal berani berdiri di atas ring dan memberi segalanya.
Riko melirik mereka sekali lagi. “Sekarang, kalian punya dua minggu. Gunakan setiap detiknya. Nggak ada alasan buat takut. Kalau kalian kasih 100 persen, lawan kalian bisa sebesar gunung sekalipun, kalian tetap punya peluang.”
Ia berjalan ke tengah lingkaran dan menatap mereka satu per satu. “Aku mau lihat kalian di atas ring dengan hati. Jangan cuma otot. Petarung sejati nggak cuma menang—dia bertahan. Dia nggak pernah menyerah.”
Aria mengangguk pelan, merasa dadanya berdebar. Di ring nanti, ia tahu—kemenangan bukan jaminan. Tapi satu hal pasti: ia tidak akan menyerah tanpa perlawanan.
Riko berdiri tegak di depan mereka, tangan di pinggang, pandangannya menyapu setiap wajah. Setelah hening sejenak, ia akhirnya berbicara. “Aria, kamu akan melawan Irene di turnamen nanti.”
Ruangan tiba-tiba sunyi. Semua petinju menatap Aria seolah ia baru saja dijatuhi hukuman mati. Aldo, meliriknya dari sudut matanya. Fajar bersiul pelan, nada mencemooh tapi agak canggung.
Aria membeku. Irene. Nama yang berat seperti besi. Juara tahun lalu. Rekornya sempurna, tak pernah kalah. Dalam hitungan detik, rasa takut merayap, menyusup ke dadanya seperti ular.
“Aku nggak percaya...” bisik Luki di sebelahnya. “Aku aja kalau ketemu Irene, udah lari sebelum bel pertama.”
Fajar terkekeh. “Kamu sih pengecut dari lahir.”
Aria tidak bicara. Ia duduk kaku, seolah beban ribuan kilo baru saja jatuh di atas bahunya.