Di ruang tamu, lampu redup menemani keheningan. Maya duduk di sofa, menyulam kain tenun dengan tangan terampil. Aria berdiri tak jauh darinya, menyandarkan tubuh ke pintu dengan tangan dilipat. Wajahnya tegang.
“Kenapa nggak bilang soal Irene?” Aria bertanya, nada suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.
Maya tetap fokus pada sulamannya, seperti ombak tenang yang tidak terusik badai kecil. “Aku pikir lebih baik Riko yang ngasih tahu. Dia pelatihmu.”
Aria menghela napas, suara frustrasinya memenuhi ruangan. “Tapi aku anakmu, Bu. Kenapa bukan kamu yang ngomong duluan?”
Maya berhenti sebentar, lalu menatap Aria dengan mata yang penuh ketenangan tapi dalam, seperti seseorang yang sudah melihat lebih banyak dari yang bisa diceritakan. “Kamu sudah tahu jawabannya.”
Aria menggeleng, tidak puas. “Kamu selalu kayak gitu. Selalu kasih jarak, seolah aku bisa hadapi semuanya sendirian.”
Maya meletakkan sulamannya, menatap Aria dengan tatapan yang tidak menghakimi tapi langsung menembus dinding emosinya. “Bukan soal kasih jarak, Ria. Ini soal ngasih kamu ruang. Kamu harus tahu kapan bertarung sendiri.”
Aria terdiam, rahangnya mengeras. “Irene itu petarung paling kuat. Semua orang tahu dia nggak terkalahkan.”
Maya tersenyum kecil, getir, tapi ada kebijaksanaan di balik senyum itu. “Dan kamu juga belum terkalahkan, setidaknya dalam hal-hal yang benar-benar penting.”
Aria mendongak, tatapannya tajam. “Maksudnya apa?”
Maya mendesah, lalu berdiri dan mendekati Aria. “Kamu mungkin nggak menang di setiap pertandingan, tapi kamu udah bertahan sejauh ini. Dan itu lebih berarti dari sekadar angka di papan skor.”
Aria ingin membalas, tapi kata-kata Maya memotong dengan lembut tapi tegas. “Irene mungkin lawanmu di ring. Tapi di sini, di rumah ini, musuh terbesar kamu adalah rasa takut. Dan kalau kamu bisa kalahin itu, kamu udah menang bahkan sebelum pertandingan dimulai.”
Sejenak, keduanya terdiam. Hanya suara jarum jam yang berdetak, mengisi ruang di antara mereka.
“Kamu selalu bikin semuanya terdengar gampang,” kata Aria akhirnya, suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan.
Maya tersenyum tipis. “Nggak ada yang gampang, Ria. Tapi kamu harus percaya sama diri kamu sendiri. Dan percayalah, aku juga selalu percaya.”
Aria menunduk, merenungkan kata-kata ibunya. Sejenak ia merasa kecil, tapi bukan karena lemah—melainkan karena disadarkan betapa dalam dukungan ibunya selama ini.