Aria berjalan melewati koridor sekolah dengan langkah cepat, tas menggantung di satu bahu. Ia bisa merasakan tatapan-tatapan itu—tajam dan penuh penilaian, seolah-olah setiap siswa yang ia lewati tahu lebih banyak tentang dirinya daripada dirinya sendiri. Gumaman dan bisikan tersebar di udara seperti embun pagi.
“Lawan Irene?” seorang siswa berbisik pada yang lain di ujung lorong. “Berani-beraninya dia.”
Di dekat pintu kelas, Vina menggosok-gosok jarinya, Dito melirik jam tangannya, dan Budi mengacak-acak rambutnya. Sementara itu, Fajar duduk di pinggir tangga, kaki mengetuk-ngetuk lantai, matanya menatap kosong ke depan, seolah tak peduli.
"Udah dengar," kata Vina, langsung menghampiri Aria. “Irene, ya? Gila, itu bukan main-main.”
Aria menarik napas dalam, menatap lurus. “Ya. Gak ada pilihan lain.”
Dito bersiul rendah. “Kamu serius mau lawan Irene? Dia tuh juara nasional, Ria. Kita ngomongin dia, bukan petinju sembarangan.”
Budi menambahkan sambil menggelengkan kepala. “Tinju itu bukan buat cewek, apalagi lawan kayak Irene. Ini... ini kayak ngajak masalah, Ria.”
"Kayak ngajak dihajar," Dito menimpali, setengah bercanda tapi ada ketegangan di matanya.
Aria berhenti, menatap mereka semua. Suaranya datar, tapi ada keteguhan yang sulit diabaikan. “Jadi menurut kalian, aku gak pantas di sana?”
Vina menggigit bibirnya, seolah ingin bicara tapi ragu. Fajar, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya bersuara.
“Ini bukan soal pantas atau enggak,” katanya pelan, tapi ada ketajaman di setiap kata. “Ini soal bertahan. Irene bukan cuma kuat, dia tahu gimana bikin lawan nyerah sebelum pukulan pertama kena.”
Aria tertawa tipis. “Kalian pikir aku bakal nyerah gitu aja?”
Vina memandangnya, cemas. “Ria, kita cuma gak mau lihat kamu terluka.”
"Atau malu," Dito menambahkan. "Soalnya kalau kalah, kamu nggak cuma kalah di ring, tapi di sekolah juga. Semua bakal ngomongin itu."
Aria mengangkat bahu, pura-pura santai meski hatinya berdebar kencang. “Kalau aku takut malu, aku gak bakal ada di sini sekarang.”
Fajar menatapnya lekat-lekat, lalu berkata, “Kalau kamu kalah, bakal ada orang-orang yang bilang ini buktinya tinju itu bukan buat cewek.”
Aria merasakan jantungnya berdetak keras di dalam dada. Inilah yang sebenarnya mereka bicarakan. Bukan Irene, bukan turnamen—tapi ekspektasi yang selalu menekan perempuan.
Ia menarik napas panjang. “Aku gak bertanding buat mereka. Aku bertanding buat diriku sendiri.”
Keheningan menyelimuti mereka, hanya suara langkah siswa lain yang lewat dan gumaman di kejauhan.