Toko ramai siang itu, pelanggan keluar-masuk, dan Maya sibuk melayani. Di belakang meja kasir, Pak Hasan sibuk menghitung stok sambil mengawasi antrean yang terus mengular. Keringat mengalir di pelipis Maya, tapi ia tetap tersenyum tipis kepada setiap pembeli. Ia baru saja selesai dengan satu pelanggan ketika seorang wanita berpenampilan rapi—Lina—muncul di pintu. Maya tertegun sejenak melihat sahabatnya, yang jarang sekali punya waktu luang.
"Lina?" Maya bertanya, sedikit heran.
Lina tersenyum tapi ada guratan lelah di wajahnya. "Ya, aku kabur sebentar dari klien. Tadi mampir ke sini sekalian lihat kamu."
Maya tertawa kecil, mengambil handuk dari meja dan menyeka tangannya. "Wah, ini kejutan. Biasanya kamu sibuk di ruang konseling."
Lina mendekat, duduk di bangku kecil di samping meja kasir. "Aku dengar soal Aria."
Maya menghentikan gerakannya, meletakkan tangan di pinggang. "Oh ya?"
"Aku gak nyangka dia benar-benar ikut turnamen tinju." Mata Lina menyipit, nadanya setengah skeptis. "Kamu serius biarin dia, Maya? Tinju itu gak main-main. Apalagi buat anak perempuan."
Maya mendesah, memutar tubuh dan mengambil minuman dingin dari kulkas kecil. "Awalnya cuma hobi, Lin. Sesuatu buat kami lakukan bareng. Tapi ternyata dia suka. Dia mau ini."
Lina menyandarkan tubuh, menatap Maya dengan pandangan tajam. "Dan kamu pikir itu ide bagus? Tinju bukan tempat buat anak remaja, apalagi perempuan. Kamu tahu betapa berbahayanya itu?"
Maya membuka botol minum, menyesap sedikit sebelum menatap balik sahabatnya. "Iya, aku tahu. Aku juga takut, tapi aku gak bisa selalu jadi tameng buat dia. Kalau ini yang dia mau, aku harus dukung dia."
Lina mendengus. "Dukung? Kamu yakin itu dukungan? Atau kamu cuma takut ngecewain dia?"
Maya menatap Lina dalam-dalam. "Kalau aku larang dia, apa itu bukan artinya aku yang ngecewain dia lebih dulu?"
Lina menggeleng, menekan jari-jari ke pelipis. "Maya, kamu tahu kan, mental anak seusia Aria masih rentan? Aku udah lihat banyak kasus anak yang hancur karena tekanan semacam ini. Kenapa gak suruh dia jadi pelukis atau penari? Sesuatu yang gak berbahaya."
Maya tertawa kecil, tapi getir. "Kamu kira aku belum coba? Tapi Aria bukan tipe yang bisa dipaksa jadi apa yang bukan dirinya."
Lina masih menatap dengan raut cemas. "Maya, kalau sesuatu terjadi padanya—di ring atau di luar sana—kamu siap terima itu?"
Maya terdiam sejenak. Lalu ia meletakkan botol minum di meja dan menatap sahabatnya dengan pandangan tegas. "Lin, aku gak bisa lindungi dia dari segala kemungkinan buruk di dunia. Yang bisa kulakukan cuma ada di sisinya, apapun yang terjadi."
Lina menghela napas panjang, lalu berkata dengan pelan, “Aku ngerti kamu sayang sama Aria. Tapi kamu gak bisa abaikan risiko hanya karena dia senang.”
Maya mengangkat bahu. "Risiko selalu ada, Lin. Hidup ini penuh risiko. Kita cuma bisa pilih mana yang pantas diperjuangkan."
Lina menggeleng dengan ekspresi putus asa. "Aku harap kamu tahu apa yang kamu lakukan, Maya."
Maya tersenyum tipis. "Aku juga harap begitu."