IKATAN PEJUANG

NUR C
Chapter #42

42. Kekuatan dalam Kelemahan

Aria berdiri di tengah ring, keringat membasahi tubuhnya, napas terengah-engah. Pelipisnya berkilat di bawah lampu gym yang terang. Riko berdiri di sisi ring, tangan terlipat di dada, suaranya tajam dan penuh tuntutan.

“Jangan kasih kendor, Aria. Kombinasi jab dan hook, cepat! Lawan nggak nunggu kamu siap!”

Aria memukul samsak gantung dengan kecepatan dan presisi, kepalan tangannya memukul-mukul sarung tinju yang sudah mulai aus. Jab. Hook. Jab. Uppercut. Irama tinjunya cepat, seperti nyanyian ketukan yang keras dan tanpa jeda. Setiap kali pukulannya meleset sedikit, Riko langsung mengingatkan.

“Kurang fokus! Fokus di sini atau di luar kamu kalah!”

Aria menggeram, melepaskan kombinasi lain dengan lebih keras. Di sudut ruangan, Maya memperhatikan putrinya dengan bangga sekaligus sedikit khawatir. Ia bisa melihat betapa keras Aria berusaha, mencoba menutup jarak dengan para petinju lelaki di gym itu.

“Bagus. Sekarang gerak kaki, jangan diem!” teriak Riko, melangkah ke samping. “Lawan nggak bakal berdiri di situ doang, dia bakal ngejar.”

Aria bergerak cepat, mengitari samsak seperti predator. Namun tubuhnya mulai terasa berat, dan ia melirik sekilas ke arah ibunya yang duduk bersama Lina di pinggir ring. Maya memberi isyarat kecil dengan anggukan, seolah berkata, Kamu bisa.

Lina, dengan kedua tangan di saku, memiringkan kepalanya ke arah Maya dan berbisik, “Dia benar-benar serius soal ini.”

“Memang,” jawab Maya dengan tenang. “Dia bukan anak kecil lagi.”

Lina mendengus, tapi ada nada takjub dalam suaranya. “Tapi tetap aja, Maya. Tinju itu... ini bukan kayak melukis atau main musik. Ini soal nyali dan pukulan.”

Maya tersenyum tipis. “Aku tahu. Dan dia punya nyali lebih dari yang kamu pikir.”

Setelah latihan selesai, Aria melepaskan sarung tangannya dan duduk di sudut ring, meneguk air dengan napas tersengal. Maya memanfaatkan jeda itu untuk berdiri.

“Kamu udah liat Aria latihan, Lina,” katanya dengan suara ringan namun penuh makna. “Sekarang giliran aku ngajak kamu sparing.

Lina terkejut, lalu tertawa seolah Maya bercanda. “Masa aku harus pake sarung tinju juga? Aku psikolog, bukan petinju.”

“Justru itu,” balas Maya sambil tersenyum. “Kamu harus coba dulu sebelum skeptis.”

Riko tertawa kecil dari pinggir ring. “Aku suka idenya. Tenang, Lina. Cuma latihan ringan.”

“Riko, jangan ikut-ikutan,” Lina memelototi Riko sambil tertawa gugup. Namun Maya sudah meraih sepasang sarung tinju dan melemparnya ke Lina.

“Angkat tanganmu. Ayo kita lihat seberapa baik kamu menghindar.”

Lina, masih ragu tapi tak mau terlihat mundur, akhirnya masuk ke ring dan mengenakan sarung tinju. “Kamu serius banget ya?” tanyanya sambil mengangkat alis.

Maya tersenyum lagi, tapi kali ini ada sedikit tantangan dalam tatapannya. “Serius. Ini cuma buat fun.”

Sparing dimulai. Maya menyerang lebih dulu, dengan gerakan ringan tapi cukup cepat. Lina menghindar dengan kikuk, mencoba menebak arah pukulan Maya.

“Jaga posisi tangan, Lina!” teriak Riko, tertawa lepas. “Atau kamu bakal kena jab di hidung!”

Lina terkekeh meski napasnya sudah mulai cepat. “Ini udah kayak sesi terapi yang kacau.”

Lihat selengkapnya