Aria duduk di sudut gym, meneguk air dari botol plastik yang sudah penyok. Napasnya masih sedikit memburu dari latihan intensif tadi, tapi tatapan matanya tajam—penuh determinasi. Fajar, Dito, Budi, dan Vina sudah berkumpul di ring, saling bercanda, meski semua tahu bahwa pertandingan sebentar lagi akan dimulai. Mereka hanya mencoba menghilangkan rasa tegang.
“Vina, siap nggak?” tanya Dito dengan senyum miring, sambil memukul-mukul sarung tangannya. “Jangan bilang kamu bakal kabur, ya.”
Vina menaikkan alis. “Kabur? Kamu lupa siapa yang ngalahin kamu waktu lomba renang?”
Teman-teman mereka tertawa. Budi mengerling ke Dito. “Nah, tuh, Dit. Peringatan sebelum dihajar cewek.”
Dito mengangkat bahu dan melangkah ke tengah ring, melirik Vina. “Ayo, Vin. Kita sparring. Kali ini nggak ada air, jadi kamu nggak bisa berenang keluar.”
Aria yang duduk di pinggir ring tersenyum tipis, menikmati suasana ini—meski ada canda, ia tahu mereka semua datang untuk mendukungnya. Pertandingan besar sudah dekat, dan ini bukan hanya tentang latihan, tapi juga tentang persahabatan.
Budi berdiri dan menepuk bahu Dito. “Kalian sparring dulu. Aku mau lihat apakah Dito akhirnya bisa menang lawan perempuan.”
Dito mendelik, tapi tak bisa menahan tawa. “Oke, oke. Ayo, Vin. Kita bikin ini seru.”
Vina melangkah ke tengah ring dan mengangkat sarung tangannya. “Jangan nangis, ya, Dit.”
Seketika bel berbunyi, dan Dito maju dengan gerakan cepat. Tapi Vina, meski lebih kecil, jauh lebih lincah. Setiap kali Dito mencoba mengayunkan hook, Vina dengan mudah menghindar, melompat ke samping dengan cekatan.
“Cepetan, Dit! Kamu kayak lagi slow motion,” ejek Fajar sambil tertawa dari pinggir ring.
Dito menggeram, mencoba lebih serius. Ia melepaskan kombinasi jab dan hook, tapi Vina tetap lebih cepat, bahkan menepuk bahu Dito dengan sarung tangannya, seolah-olah mengejek.
“Kasian banget, Dit. Aku ngerasa kayak main sama keponakan,” kata Vina sambil tertawa.
Budi tertawa terbahak-bahak, hampir jatuh dari bangkunya. “Dito, seriusan, kamu dikalahin cewek?”
Dito mulai kesal tapi juga tertawa sendiri. “Sial, ini bukan tinju, ini balapan lari!”
Vina melihat celah dan dengan cepat melepaskan jab lurus yang mengenai dada Dito. Dito tersentak mundur, terkejut, lalu tertawa sambil mengangkat tangan. “Oke, oke. Aku menyerah. Kamu menang, Vin.”
Teman-teman mereka tertawa, dan Dito mundur sambil melepas sarung tangan. “Jangan bilang siapa-siapa soal ini, ya. Reputasiku dipertaruhkan.”
Vina mengedip. “Terlambat, Dit.”
Aria menyeka keringat di dahinya dan bangkit dari kursinya. “Sekarang giliran kalian, Bud. Habis itu aku sama Fajar.”
Budi dan Dito saling pandang, lalu Budi melangkah maju sambil tersenyum. “Siap-siap kena, Dit. Kamu bakal lebih malu dari tadi.”
Dito tertawa, masih mengatur napas. “Aku udah kebal sama rasa malu.”
"Oke. Siap, Dit?" tanya Budi, suaranya pelan tapi tegas.