IKATAN PEJUANG

NUR C
Chapter #44

44. Pertarungan Hati (2)

Aria duduk bersila di sudut ring, matanya terpejam, napasnya dalam dan teratur. Di benaknya, ia berada di dalam ring pada hari pertandingan. Ia membayangkan lawannya melangkah mendekat, otot-otot menegang, dan penonton berteriak di latar belakang. Ia merasakan kanvas di bawah kakinya, mencium bau keringat dan resin. Visualisasi ini bukan sekadar bayangan—ia membuat dirinya benar-benar hadir di sana, di momen itu.

Maya berdiri di dekatnya, menyeka keringat di wajah dengan handuk. Ia tahu betul apa yang dilakukan putrinya, dan ia menghormati itu. Tapi sebagai ibu, ia tak bisa sepenuhnya menahan kekhawatiran.

“Kamu yakin bisa?” tanya Maya akhirnya, suaranya lembut namun penuh kecemasan. “Aku tahu kamu kuat, tapi lawanmu kali ini nggak main-main, Ria.”

Aria membuka matanya perlahan. Matanya tenang tapi tajam, seperti petinju yang sudah mengunci fokusnya. “Bukan soal yakin atau nggak, Bu. Ini soal siap atau nggak. Aku udah sampai sini. Mundur itu bukan pilihan.”

Maya duduk di sampingnya, memandang Aria yang kini menunjukkan kedewasaan melebihi usianya. “Terkadang, aku merasa kamu lebih matang daripada orang-orang sebayamu. Itu menakutkan buatku,” ucapnya pelan.

Aria tersenyum tipis. “Aku cuma mau kamu tahu, aku nggak akan bikin kamu kecewa.”

Maya memutar matanya, mencoba meredakan ketegangan dengan humor. “Bikin aku kecewa? Kamu lupa, aku ini ibu kamu. Aku udah belajar dari pengalaman kalau kecewa sama anak itu bagian dari kontrak.”

Mereka tertawa sebentar, tapi tawa itu segera menguap dalam keheningan. Ketegangan tetap terasa, seperti bayang-bayang di sudut ruangan. Maya akhirnya mengangkat sarung tinju yang tadi diletakkannya di dekat ring.

“Gimana kalau kita sparring? Sekadar melepaskan stres,” ajaknya, mencoba sedikit mengalihkan pikiran Aria dari pertandingan yang terus menghantui.

Aria menyeringai. “Ibu mau kalah telak lagi?”

Maya mendengus, mengikat sarung tinju dengan mantap. “Kita lihat saja, siapa yang bakal kalah telak.”

Mereka naik ke ring. Maya mengadopsi posisi bertahan, sementara Aria, lebih cepat dan lebih terlatih, mulai bermain dengan langkah-langkah kecil, menguji refleks ibunya.

Maya menyerang lebih dulu—hook kiri yang nyaris mengenai bahu Aria, tapi Aria menghindar dengan mudah, membuat Maya tersenyum frustrasi. “Kamu terlalu cepat, dasar anak muda.”

Aria melompat ke belakang, menari di atas kakinya. “Jangan pakai alasan usia kalau kalah nanti.”

Mereka bertukar pukulan dengan ringan—tanpa niat untuk melukai, hanya untuk menjaga ritme dan fokus. Namun, di setiap gerakan ada perasaan yang lebih dalam: Maya ingin melindungi putrinya, dan Aria ingin membuktikan bahwa ia mampu berdiri sendiri.

Pada satu momen, Maya mencoba jab cepat, tapi Aria sudah lebih dulu memutar tubuhnya dan masuk dengan uppercut pelan ke arah perut ibunya. Maya tersentak dan tertawa keras. “Astaga, kamu nggak kasih ampun ya, Ria.”

Lihat selengkapnya