IKATAN PEJUANG

NUR C
Chapter #45

45. keberanian di atas Kanvas

Di belakang panggung, udara terasa berat, menyelimuti Aria dengan campuran bau keringat dan salep yang menyengat. Sarung tinju sudah terpasang erat di tangannya, dan jari-jarinya berdenyut di balik lapisan kain, seolah mengingatkannya pada ketegangan yang semakin menumpuk.

Fajar menepuk bahunya. "Kamu siap. Ingat semua latihan kita," katanya, suaranya tenang tapi tegas.

Aria mengangguk, meski di dalam kepalanya, ketakutan masih bergema. Di sudut ruangan, Maya dan Lina berbicara dengan suara rendah, namun Aria tahu betul arti kekhawatiran di mata ibunya. Vina dan Dito mencoba mencairkan suasana dengan obrolan ringan, tapi suara mereka tak lebih dari gumaman kabur.

Tenang, Aria. Kamu bisa, bisiknya pada dirinya sendiri, meski detak jantungnya seperti genderang perang, memukul-mukul telinganya.

Pintu arena terbuka, cahaya terang membakar wajah Aria, membuatnya menyipit. Sorak-sorai penonton menggema, seperti badai menggelora, sementara langkahnya terasa berat, seakan mengangkut seluruh keraguan yang membebani tubuhnya.

"Aria! Aria!" Suara teman-temannya menggema dari tribun. Maya dan Lina berdiri di barisan depan, tangan Maya terangkat tinggi dengan senyum penuh harapan, meski kekhawatiran tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.

Di atas ring, kanvas terasa dingin di bawah sepatunya, membuatnya menyadari betapa nyata semua ini. Dari sudut matanya, ia melihat lawannya: tubuh tinggi berotot, rahang tegas, dan tatapan dingin yang menusuk seperti pisau. Seketika, udara terasa semakin tipis.

Bel berbunyi. Aria melangkah maju dengan percaya diri, meski rasa gugup menggigit ujung sarafnya. Ia membuka serangan dengan jab cepat, menghantam rahang lawannya. Suara sorakan menggema dari penonton, membuat nyalinya sedikit terangkat.

"Bagus, Ria! Terus tekan!" teriak Riko dari pinggir ring.

Ia terus bergerak, mengikuti irama kakinya seperti yang dilatih. Untuk sesaat, ia merasa berada di atas angin. Tapi tidak lama kemudian, lawannya mulai membaca gerakannya. Sebuah hook menghantam tulang rusuk Aria dengan keras, membuat napasnya tertahan sejenak.

Tenang. Jangan panik, pikir Aria sambil mengangkat guard-nya tinggi. Tapi serangan lawan datang bertubi-tubi, dan ia harus bertahan mati-matian hingga bel berbunyi.

Di sudut ring, Aria menghirup napas dalam-dalam sambil meneguk air dari botol yang Riko sodorkan. Keringat menetes deras di pelipisnya.

"Kamu unggul tadi. Terus mainkan irama," ujar Riko.

Aria hanya mengangguk, sesaat matanya menangkap sosok ibunya di antara penonton. Dalam sorot mata Maya, ia menemukan sekelumit keberanian yang ia butuhkan untuk melanjutkan.

Bel kembali berbunyi, dan lawannya langsung menyerang tanpa memberi kesempatan. Pukulan-pukulan keras menghantam Aria, memaksanya mundur ke tali. Sebuah hook menghantam rusuknya, diikuti uppercut yang membuat kepalanya mendongak ke atas. Dunia di sekitarnya terasa berputar.

Aria mencoba membalas dengan straight, tapi pukulannya meleset. Lawannya menghindar dengan mudah dan melepaskan cross keras yang tepat menghantam pipi Aria. Tubuhnya terhempas ke kanvas.

Tidak! Aku harus bangkit, pikirnya, sementara kanvas dingin menyentuh pipinya.

Lihat selengkapnya