Aria menendang kerikil di sepanjang jalan setapak yang menuju rumah. Sepatunya lecet dan basah oleh sisa hujan sore tadi. Udara dingin menusuk, seolah selaras dengan perasaannya yang hampa. Di tangannya, telepon masih menyala, menampilkan pesan-pesan komentar pedas dari media sosial:
"Kalah ya? Bilang aja mimpinya ketinggian."
"Makanya, perempuan mending di rumah. Main tinju? Hah, buang-buang waktu."
Aria mendengar suara mereka bergaung di kepalanya. Tak ada satu pun komentar baik. Hanya ada hinaan dan sindiran.
Di depan pintu, Maya sedang menunggu. Wajahnya tenang, tetapi matanya menunjukkan keletihan yang sama. Ketika Aria tiba, mereka bertukar pandang tanpa kata. Aria melewati ibunya begitu saja dan masuk ke dalam rumah, melempar tasnya ke sudut ruang tamu.
Maya mengikuti perlahan, suara sandal rumahnya terdengar samar di lantai keramik. "Kamu oke?" tanyanya, dengan suara pelan yang hanya menambah berat suasana.
Aria tak menjawab. Ia hanya duduk di lantai, menyandarkan punggung ke dinding, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. "Aku bikin malu, ya?" katanya akhirnya, suara seraknya pecah.
Maya menghela napas panjang. “Kamu pikir begitu?”
Aria menunduk lebih dalam. "Orang-orang bilang aku nggak bisa menang karena aku nggak punya bakat. Mereka bilang, ini cuma gara-gara kamu yang memaksaku." Suaranya terdengar seperti bisikan. "Apa benar, Bu? Kamu kecewa sama aku?"
Maya berlutut di depannya, menatap putrinya dengan cermat, seolah mencoba membaca segala rasa sakit yang tak bisa diucapkan. "Aria," Maya mulai, "aku nggak kecewa sama kamu."