Aria duduk diam di depan kanvas putih, tangan memegang kuas, tapi ia tak bergerak. Udara di ruang tamu terasa berat, meski ada suara angin yang berhembus perlahan dari jendela terbuka. Maya berdiri di dekat meja, menyandarkan diri pada kursi kayu yang berderit tiap kali ia bergerak. Kertas sketsa dan botol cat terserak di atas meja, menunggu disentuh.
“Coba aja mulai,” ujar Maya, pelan tapi pasti.
Aria menghela napas. "Aku nggak tahu mau gambar apa, Bu. Semua ini... rasanya sia-sia."
Maya menatapnya, tak ingin memaksa. “Nggak apa-apa. Kadang kita nggak langsung tahu. Tapi tetap harus mulai dari sesuatu.”
Aria memandang kanvas seolah benda itu musuh. Tangan kirinya menggenggam lutut erat, sementara kuas di tangan kanannya hanya melayang tanpa tujuan. Ia ingat kekalahan itu—suara dentuman sarung tinju yang menghantam pipinya, gemuruh penonton, dan rasa perih yang masih mengambang di dada. Sejak kekalahan itu, segalanya terasa berat dan kosong.
Maya melangkah pelan dan duduk di samping putrinya. Ia mengambil kuas kecil dan mencelupkannya ke warna biru muda, lalu mengoleskan satu garis di sudut kanvas. Aria mengernyit.
“Apa itu?” tanya Aria, suaranya datar.
“Awal,” jawab Maya sambil tersenyum. “Dari garis kecil kayak gini, kamu bisa bikin apa aja.”
Aria tertawa kecil, tapi getir. “Kayak hidup kita ya? Cuma garis-garis berantakan.”
Maya tersenyum lagi, lebih lembut kali ini. “Tapi selalu bisa kita sambungin.”
Aria terdiam, menatap kanvas dan warna biru yang sekarang melekat di atasnya. Ia mulai mengambil botol cat lain, mencampur warna merah dan hitam di palet kecil di depannya. Lalu, tanpa berpikir panjang, ia menggoreskan kuasnya ke kanvas. Kali ini, ia menggambar lebih berani—garis-garis kasar yang menyimbolkan pukulan dan rasa sakit. Setiap goresan terasa seperti membuka kembali luka, tapi juga melepaskannya.