Maya bangun lebih awal dari biasanya. Di dapur, aroma roti panggang dan telur rebus memenuhi udara. Dengan gerakan cepat dan tenang, ia menyiapkan sarapan. Aria duduk di meja, matanya masih berat. Suasana pagi itu seakan memeluk mereka dalam keheningan yang penuh harapan.
“Siap untuk hari ini?” tanya Maya, meletakkan segelas susu di depan Aria.
Aria menunduk, lalu menggeleng. “Aku tidak tahu, Bu. Apa kalau aku gagal lagi, orang-orang akan bilang aku pecundang?”
Maya menyandarkan siku di meja, menatap putrinya tanpa berkedip. “Apa yang mereka katakan itu urusan mereka. Kamu di sini bukan untuk mereka.”
“Buat siapa, Bu?” Aria menantang, ingin mendengar jawaban yang bisa menguatkannya.
“Buat kamu sendiri,” jawab Maya sambil tersenyum kecil. “Dan sedikit buat aku.”
Aria tertawa kecil, meski canggung. “Kalau gitu, kita nggak boleh kalah.”
***
Di mobil, Maya menggenggam tangan Aria, memberikan dukungan yang tak terucapkan. Jalan menuju gedung kompetisi penuh dengan suara klakson dan bising kendaraan, tetapi di dalam mobil, hanya ada ketegangan. Ketika mereka tiba, Aria merasa jantungnya berdegup kencang, seolah ingin melompat keluar.
“Yakin kamu mau masuk?” tanya Maya, menatap Aria dalam.
“Harus. Aku sudah di sini.” Aria menjawab, berusaha menunjukkan keberanian meski ketakutan menyelimuti.
Maya mengangguk, lalu melangkah keluar, menunggu Aria yang masih terdiam di tempatnya. Saat mereka melangkah menyusuri lorong, suara bising riuh dari peserta lain mengisi udara. Aria melihat wajah-wajah penuh percaya diri, senyuman lebar menghiasi bibir mereka, sementara lukisan-lukisan berwarna cerah memikat perhatian.