Ruangan itu mendadak hening ketika juri melangkah ke podium. Semua orang menunggu. Waktu seolah melambat. Aria meremas jemarinya, merasakan dinginnya keringat di telapak tangan. Dari sudut matanya, ia melihat Maya, ibunya, yang duduk dengan punggung tegak. Tidak ada kata-kata di antara mereka. Hanya tatapan yang sarat makna.
“Dan pemenangnya...” kata juri, suaranya menggantung di udara, seperti detik-detik sebelum peluit dibunyikan dalam pertandingan tinju.
Aria menahan napas. Ia merasakan degup jantungnya bergemuruh, seolah-olah dadanya tidak cukup luas untuk menampung kegelisahan itu.
“Bella Aria Rahma!”
Sorakan meledak di sekitar ruangan. Orang-orang bertepuk tangan, beberapa memanggil namanya dengan riang. Aria berdiri terpaku sesaat, kakinya seakan kehilangan kendali. Maya berdiri di belakang, memberikan isyarat lembut dengan tatapan mata—bukan sebuah perintah, hanya dorongan. "Kau bisa."
Aria menarik napas dalam-dalam, menelan kebimbangan yang tiba-tiba muncul. Ia melangkah ke depan untuk menerima penghargaan, langkahnya terasa berat, seolah-olah kakinya tertambat pada beban yang tak terlihat. Kemenangan ini terasa asing, lebih kosong dari yang ia kira. Piala dingin di tangannya bukan jawaban atas semua pertanyaan yang ia simpan.
***
Di luar gedung, udara malam menyelimuti mereka dengan keheningan yang nyaman. Aria duduk di bangku taman bersama Maya, piala diletakkan begitu saja di sampingnya. Mereka menatap langit. Tidak ada obrolan basa-basi. Hanya dengungan jauh kota yang menemani.
Akhirnya, Aria memecah kesunyian. “Aku menang,” katanya, suaranya datar.
Maya tidak segera menjawab. Ia tahu. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar kemenangan malam ini.
“Rasanya... kosong,” Aria mengaku, suaranya lirih. “Semua yang kulakukan, berbulan-bulan latihan, rasa sakit, dan semua tekanan... Apa ini sepadan?”
Maya menggeser duduknya sedikit mendekat, memastikan bahu mereka bersentuhan. “Apa yang kau cari sebenarnya, Sayang?”
Aria terdiam, berusaha mencari jawaban. “Aku kira... menang akan membuatku merasa lebih baik. Tapi, sekarang...” Ia menghela napas panjang. “Kenapa tetap ada kekosongan?”
Maya menatap ke depan, ke jalan yang sepi di bawah lampu jalan yang redup. “Kemenangan tidak selalu mengisi kekosongan, Aria.”