Gym terasa sepi sore itu, hanya suara hantaman sarung tinju yang memecah kesunyian. Aria berdiri di depan samsak, napasnya teratur, gerakannya mantap. Maya duduk di bangku kayu tak jauh dari situ, memperhatikan setiap pukulan putrinya tanpa kata, dengan senyum yang nyaris tak terlihat.
“Pukul lagi,” kata Maya akhirnya, suaranya tenang namun penuh keyakinan.
Aria menarik napas, lalu meluncurkan jab cepat. "Kenapa sih selalu harus maju terus?" Aria berkata setengah frustrasi, setengah bercanda.
Maya berdiri, mengambil sepasang sarung tinju dan memakainya. "Karena kalau kita berhenti, kita benar-benar kalah."
Aria mengerutkan alis. “Tapi aku capek, Bu.”
Maya berjalan ke arahnya, menyerahkan sepasang mitts dengan tatapan lembut tapi tak kenal kompromi. “Capek itu boleh. Tapi kita istirahat di jalan, bukan di ujung garis.”
Aria mendesah pelan, tapi senyum tipis tersungging di wajahnya. Mereka saling tatap—tanpa perlu kata, mereka tahu bahwa masing-masing telah berubah. Aria bukan lagi anak yang takut gagal, dan Maya bukan lagi ibu yang memaksakan harapan tanpa mendengar suara hati putrinya. Keduanya telah bertarung—tidak hanya dengan dunia, tapi dengan diri mereka sendiri.
Maya menepuk mitts-nya. "Ayo, tunjukkan pukulan yang bikin kamu juara."
Aria tersenyum sinis. “Samsak gak bisa menilai seni, Bu.”