Aksara mengambil langkah panjang masuk ke Kafe Mawar. Lelaki itu menilik sesaat jam tangan yang ada di pergelangan sebelah kiri. Ya, kali ini dia terlambat setengah jam dari awal perjanjian mereka berdua.
Buru-buru lelaki bersepatu pantofel itu melangkah ke meja nomor dua.
“Maaf, aku telat setengah jam.” Aksara pun duduk di seberang kursi Yasmin tanpa diminta.
Yasmin hanya diam, wajahnya sangat datar. Perempuan itu lalu memalingkan wajah ke arah jendela.
Air matanya ingin luruh. Tetapi, segera ditahannya. Berkali-kali gadis manis itu mengedipkan kedua matanya agar cairan bening itu tak keluar.
“Kamu kemarin malam ngajak ketemuan di sini. Mau nanya apa sama aku, Yas?” tanya Aksara dengan polosnya.
Yasmin kembali mengedarkan pandangannya ke sosok pria bermata hazel itu. Perempuan itu menatap tajam ke arah Aksara.
“Kamu ini memang gak ngerti beneran atau pura-pura gak ngerti sih, Sa?” tanya Yasmin kesal kepada lelaki yang duduk di hadapannya.
Rasanya... Yasmin ingin beranjak dari tempat duduknya dan menampar pria itu. Tapi, ia urungkan.
“Aku benar-benar gak ngerti maksud kamu, Yas.” Lagi-lagi Yasmin dibuat kesal oleh Aksara. Ia menghela napasnya berat.
Yasmin tidak mengerti jalan pikiran Aksara. Lelaki itu seakan hilang ingatan atas kejadian kemarin malam.
“Pertanyaan pertama, kenapa kamu gak ada kabar kemarin? Dari pagi sampai malam aku tunggu, tapi gak ada pesan dari kamu?”
“Maaf, kemarin aku sibuk, Yas ada urusan keluarga. Ponselku juga mati.”
Maaf hal itu yang paling dibenci Yasmin. Sebagian manusia mudah sekali mengucapkan kata Maaf. Tapi, mudah juga mengulangi kesalahan yang sama. Ujung-ujungnya maaf lagi.
“Terus, malamnya saat waktu kamu senggang, nggak sempat ngecas ponsel? Gak kepikiran buat ngabarin aku setelah ponsel hidup? Padahal datang ke acara makan malam, sempat!” Nada Yasmin meninggi.
“Malamnya memang ngecas ponsel saking ngantuknya aku tinggalin buat tidur sebentar. Terus ke bangun itu juga karena ponsel bunyi, Yas. Ternyata itu dari mama nyuruh ke restoran pas liat jam di ponsel. Aku sudah telat banget dari waktu yang ditentukan dari perjanjian. Ya sudah buru-buru aku pergi. Bener-benar deh lupa ngabarin kamu.”
Penjelasan yang tidak masuk akal menurut Yasmin.
“Lupa?” Yasmin mencebikkan mulutnya.
“Sebenarnya kalau kamu menganggap aku penting waktu itu, kamu bisa aja telepon atau setidaknya kirim pesan. Paling gak sampai dua menit sudah ke kirim tuh pesan. Tapi sayang, sepertinya… aku bukan prioritas kamu jadi kayak gak dianggap ada!”
Aksara hanya menundukkan kepala. Tidak dapat mengatakan satu patah kata lagi. Pria itu diam. Ia sadar di sini memang dia yang salah, tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Aksara tahu dia telah membuat perempuan yang disayanginya kecewa.
Yasmin juga ikut diam. Mereka diam dalam lamunan masing-masing.
Tiba-tiba saja pelayan mendekati mereka.
“Permisi Mas, Mbak ada yang mau dipesan?” tanya perempuan berseragam putih dibalut sedikit renda berwarna hitam di bagian bawah lehernya.
Perempuan itu membawa satu kertas kecil dan satu buah bolpoin, dia tersenyum ramah.
Suara lembut wanita itu menyadarkan mereka berdua. Ketika, Yasmin ingin membuka mulutnya untuk bicara. Tapi, buru-buru dicegah Aksara.
“Satu gelas susu putih hangat dan jus Alpukat ya, Mbak!”
“Baik, Mas ada tambahan lagi?”