Arkana membelah jalanan Ibu kota dengan kecepatan sedang. Ini pertama kalinya lelaki manis berhidung bangir itu kembali mengendarai mobil di jalanan Ibukota. Setelah lima tahun tidak menjejakkan kaki di kota kelahirannya ini.
“Di sana seru gak, Kak?” tanya Aksara sambil menyenderkan badannya di kursi penumpang depan.
“Biasa aja. Masih seru di sini.” Arkana tetap fokus ke depan. Walaupun adiknya itu selalu melontarkan tanya kepadanya.
“Kalau biasa aja, kenapa betah banget sih di sana?” tanya Aksara.
Lelaki itu memejamkan matanya. Namun tidak tertidur. Ia hanya ingin beristirahat sejenak.
Aksara selalu menolak bila ayahnya menyuruh, dia memakai mobil ke kampus. Lelaki itu lebih senang bila hanya mengendarai motor besar pemberian orang tuanya saat usianya baru 17 tahun.
Tadi saja, saat di rumah. Aksara harus dipaksa dulu oleh orang tuanya menjemput Arkana dengan memakai mobil. Jika tidak, mungkin ia akan nekat membelah jalanan dengan motor besarnya.
Banyak hal yang Aksara sukai saat memakai motor. Lelaki itu dapat menikmati suara angin, membayangkan wajah cantik Yasmin, ditambah lagi ia tidak akan terlalu dipusingkan apabila Jakarta dalam keadaan macet.
“Gue sebenarnya kurang betah sih di sana. Tapi mau gimana lagi, gue diamanahi papa buat kuliah di sana sambil menjalankan bisnis papa yang waktu itu baru saja dibuka. Jadi mau gak mau gue nurut aja, selagi itu baik buat gue!”
“Nah ini, yang gak gue suka dari lo, Kak. Lo itu selalu aja nurut perintah papa sama mama, kayak gak punya kebebasan sendiri jadinya untuk menentukan sesuatu buat hidup lo.” Aksara membuka matanya, lalu melihat ke arah Arkana.
“Sekali-kali lo ngelawan deh, Kak. Asyik tau! Hidup itu gak asyik kalau diatur melulu, memangnya lo robot.”
“Gak, gue gak bakal ngelawan kayak saran lo. Gue bahagia kok jalani ini semua.”
“Memang sulit ya menghasut manusia setengah malaikat kayak lo,” kekeh Aksara.
“There is no history of an angel losing to a demon,” sahut Arkana.
Aksara dan Arkana pun tertawa bersama-sama. Kemudian mereka menyanyikan lagu kesukaan yang sudah lama tidak dilantunkan berdua.
“Eh, Sa, gimana kuliah lo?”
Beberapa menit kemudian.
Arkana menoleh ke arah Aksara yang sedang asyik melihat keluar jendela. Mereka sejak tadi sudah berhenti bernyanyi.
“Alhamdulillah, aman, Kak!” Aksara mengalihkan pandangannya ke Arkana.
“Bagus deh. Kuliah yang benar! Ngomong-ngomong lo lagi gak punya pasangan ‘kan sekarang?”
“Idih, kenapa jadi kepo sih, Kak?”
“Ya kali aja lo punya pasangan. Bisa-bisa lo dimarahin mama habis-habisan entar! Ingatkan apa kata mama.”
“Nggak boleh pacaran kalau masih kuliah. Ya gue selalu ingat itu, Kak.”
“Bagus deh jangan dilanggar ya!”
“Siap, Bos!” Aksara menempelkan tangannya di kening tanda hormat.
Padahal tanpa diketahui kedua orang tua dan kakaknya, Aksara berbohong. Lelaki itu sudah lama menjalin hubungan bersama Yasmin kekasihnya.
Entah kenapa? Tiba-tiba saja Aksara jadi mengingat tentang Yasmin. Niat pemuda itu ingin menghubungi kekasihnya. Ia pun berusaha merogoh kantong celana, di sanalah Aksara selalu menyimpan ponselnya.
“Sa, sudah sampai nih, masuk yuk.” Arkana menghentikan mobilnya di depan rumah mewah bercat putih. Rumah itu adalah kediaman kedua orang tua mereka.
“Iya-iya bentar, Kak. Lo duluan aja.” Aksara masih fokus menggenggam ponselnya.
“Ayo masuk, Sa! Biar sekalian barengan.”