IKRAR (rahasia hati & berlabuhnya rasa)

Bian
Chapter #1

Chapter 1

Hewan mamalia berbulu lebat ngusel pada kaki jenjang. Sesekali mengeong agar pemiliknya lebih peka. Kaki empat yang menuju kotak makan kosong sangat tidak dipercaya kalau satu jam yang lalu dilahap habis. Pupil hitam membesar terlihat indah saat membaur dengan bola biru, oh, kucing itu sangat menggemaskan.

"Ayolah Tifanni! Sudah kukatakan agar kamu harus diet! Pagi ini wajib konsultasi sesuai jadwal dokter praktek. Kamu hanya boleh makan jam 12.00 siang!"

"Meong." Kucing diberi nama Tifanni pun menidurkan tubuhnya hingga perut gendutnya tampak lebih menggoda untuk disentuh. Jemarinya tak sabar menggelitik empus. "Eong!" Marah sang kucing dan menggigit salah satu jarinya.

"Aww ... Sakit! Jari manisku belum terpasang cincin, jangan kamu lukai dia!"

Seperti tidak ada rasa bersalah, Tifanni tampak tak peduli, terbukti si kucing itu terus mengikuti langkah tuannya. Seusai Siera keluar dari kamar mandi, si bulu abu-abu sedang menggerakkan ekor panjangnya. Diam. Tak lama itu mengikutinya berbaring di kasur.

Sierra sebenarnya tak tega. Tentu saja ia berusaha tegas atas peliharaannya karena sudah obesitas. Sebisanya ia menghibur Tifanni. Mengajak bermain dengan seuntal tali, tangan pendek itu mencoba menjangkau benda, meskipun tak sampai.

Napas si kucing kelelahan, ah, mungkin ia kesal karena tak mendapatkan mainannya. Maka, Tifanni pun meloncat ke arah muka Sierra. "Tifanni, hentikaaan!" Gadis itu menarik paksa tubuh bulat karena menarik paksa rambut panjangnya.

***

"Silakan masuk calon istriku." Lelaki itu membukakan pintu mobil. Sierra menyunggingkan senyuman termanisnya. Kadang senyum tipis itu membuat hati lelaki ini terhanyut suasana.

"Hm. Tifanni?" Tautan alis pekat menaik. Bahwa ada yang kelupaan jika ia ingin kucingnya diperlakukan sama.

"Sini, biar kuantarkan ke belakang." Lelaki itu membuka bagasi mobilnya.

"Sayang, taruhlah di kursi tengah," desis Sierra tak setuju akan sikap pacarnya.

"Aku alergi bulu kucing, sayang. Hm. Lagian pula mobil baru aja dicuci, kalau dia poop dan pee gimana?"

Gadis itu memijat pelipis pelan. Ini bukan kali pertama sang pacar beralibi demikian. Ya, seenggaknya ia sedikit tak khawatir saat memastikan kucingnya terjaga baik dan dalam pantauan. Tidak kali ini. Tifanni sedang dalam pantauan kesehatan, ia takut terjadi apa-apa.

"Tifanni sedang sakit Gio! Aku hanya ingin dia dalam pantauanku saja, kali ini saja," bujuknya.

Lelaki berkumis tipis menyentuh dagunya. Sempat berpikir panjang. "Kalau kataku tidak. Ya, tidak!" Itu keputusan mutlak dan tak bisa diganggu gugat.

Sierra sudah tak tahan akan sikap pasangannya. Ia keluar dari mobil. Membuka paksa pintu bagasi lalu mengambil cat chargo yang ditentengnya. Langkah gadis itu berlari cepat. Tak pedulikan suara teriakan yang menggema dari kejauhan. Baginya, sang pacar sungguh tak memahami keadaan kucing kesayangannya, itu artinya sama saja melukai perasaannya.

Tepat di perempatan jalan Ahmad Yani, gadis itu menunggu angkot. Kebetulan angkot merah ada yang sejalur dengan tujuannya.

Agak sedikit lama menunggu angkotan. Untungnya debu di Kota Pangkalpinang masih dapat diakali dengan masker. Kota ini tak memiliki sarana busway, bisa dibilang masih kota kecil jadi belum disediakan jalur halte.

Sekian lama, akhirnya ia bisa duduk cantik dengan berdempetan sama ibu-ibu membawa tas belanjaan. Butuh beberapa menit, lalu sampai tempat tujuan ini saatnya ia memindahkan tapak kakinya.

Negosiasi antara penjual dan pembeli mewarnai suasana Pasar Pagi. Proses tawar menawar banyak dilakukan. Namun, bukan ini tujuan awalnya. Ia melangkah ke sebuah gedung tempat pembelanjaan. Menyelip beberapa gang kecil. Akhirnya ia membaca palang nama "Dokter Praktek Hewan". Segera ia memasuki gedung itu. Tampak banyak pasien hewan dan pemiliknya di setiap sudut ruang tunggu sedang duduk anteng menunggu giliran.

Namun, tempat duduk tak ada satu pun yang tersisa. Akhirnya, ia terpaksa berdiri. Lalu menaruh cat chargo di sebelahnya. "Nomor antrean sembilan belas."

***

"Halo Tifanni, apa kabar?" tanya sang dokter ramah. Ia mengendong tubuh kucing gempal itu.

"Ini sudah seminggu Tifanni menerapkan saran Dokter. Aku sedikit kasihan dengannya, ia sering tidur di sampingku sambil mencium-cium bibirku," jelas Sierra sambil mengelus-elus bulu lembut itu.

Dokter itu mengangguk. Wajah dokter terbalut masker tak begitu jelas dilihatnya dan hanya mata sipitnya saja yang tampak melengkung, tanda tersenyum.

Asisten pribadi pun membantu memegangi tubuh Tifanni yang terus merontah. Ya, Tifanni harus di ronsen perutnya. Tapi sebelum itu, bulu diperutnya harus dicukur terlebih dahulu. Sungguh, Sierra merasa sedih karena faktanya si kucing sedang tidak baik kondisi kesehatannya.

Lihat selengkapnya