IKRAR (rahasia hati & berlabuhnya rasa)

Bian
Chapter #2

Chapter 2

Gang kecil di daerah Parit Lalang ada tapak kaki yang mengantarkan seorang gadis melangkah pelan. Sembari menabur senyum pada orang-orang yang berpapasan. Tak hanya keramahan yang diterimanya, kadang, bisik-bisik tetangga pun mampir ke telinga.

"Apa mereka tidak menikah saja? Saya takut mereka berbuat mesum di daerah ini," cibir tetangga sebelah saat Sierra masuk ke kos-kosan pacarnya. Itu hanyalah segelintir omongan yang menelisik telinganya, mungkin di luar sana sudah melabelinya macam-macam.

Wajar saja kalau gadis itu sedikit ambil hati karena membetulkan omongan tetangga. Sejujurnya ia ingin segera menikah. Ah, sudahlah, memikirkan itu butuh kesiapan material dan mental, bukan?

Menyadari jika orang-orang kebanyakan seperti lambe turah yang julit sama netizen. Tetapi, norma masyarakat tetap tak bisa dielakkan. Ia berada pada budaya timur yang kental akan adat istiadat. Akan tetapi, ia harus menemui pacarnya untuk meminta maaf atas kejadian kemarin dan sekaligus membangunkan sang pacar sering kesiangan, terbukti sekarang sudah sore pun pacarnya bagaikan kebo yang terlelap.

Mata cokelat itu menatap seisi ruang kos yang didominasi warna biru. Fasilitas kos yang menyediakan satu petak: sebuah kamar dengan seperangkat kamar mandi dan dapur. Lalu, didapatlah seonggak tubuh yang ditutupi selimut. "Gio. Bangun!" Sierra menarik paksa selimut yang menutupi tubuh pacarnya.

"Engh. Lima menit lagi lah, aku ngantuk banget." Sierra terduduk di bibir kasur. Mencari cara agar sang kekasih segera bangun, itupun sulit, sekali pun Gio berjanji akan terjaga jika dibangunkan. Ide pun berdatangan. Ya, gadis itu menyabuti bulu kaki lelaki itu. "sakit Sierra! Nih aku bangun!" pekik Gio sambil menyodorkan bibirnya.

Segera mungkin Sierra tutup bibir itu dengan jemarinya. "Stop! Don't kiss before marriage!"

Gio menekuk bibirnya. Ya, lelaki itu ingat perjanjian sebelum mereka memutuskan jadian yaitu tidak akan berciuman, boro-boro, pelukan pun belum pernah dirasakan meskipun sudah pacaran lama. "Ini hampir dua tahun lebih kita pacaran. Aku akan bekerja keras untuk segera menghalalkan kamu, percaya aku."

Sierra berbinar bahagia. Sesederhana ini kebahagian dirasakan saat lelaki itu berucap. Hatinya bagaikan taman yang sekarang dipenuhi kupu-kupu, perkataan barusan itu menggelitik jiwanya. Gio menyentuh jemari kecilnya. Terasa lembut dan erat. Berpindah haluan, jemari kekar itu menyentuh helai demi helai rambut Sierra. Pelan-pelan, tubuh mereka semakin mendekat. Seperti ada sebuah desiran, Sierra terpanah pada tatapan bola hitam pekat yang semakin mendekat.

Jemari Gio semakin lincah dan tak tertahankan. Makin meraba-raba sesuatu yang tak seharusnya dilakukan. Sierra tersentak. Reflek, gadis itu menampar sang kekasih. Bola mata sayu itu terbelalak kaget. "Gio! Kamu kenapa?" Gadis itu mundur beberapa langkah.

Gio terus maju hingga menghimpit tubuh sintal. Ruang semakin sempit, Sierra tak bisa bergerak. Mata itu terus berkaca-kaca, tatapan penuh birahi. Tanpa sadar, bola matanya basah. "Aku ini laki-laki normal, Sierra. Aku butuh belaian dan sentuhan. Kenapa kau tak izinkan aku menyentuhmu satu kali saja?" bisik Gio serak.

Suara Gio sangat menyeramkan. Sierra terisak-isak. Penuh sekuat tenaga, gadis ini mendorong tubuh tegap itu. Sampai tubuh kekar itu pun mundur beberapa langkah. Gadis itu ketakutan bukan main. Ia mencari pintu keluar. Namun, percuma. Tangannya lebih dulu ditarik paksa.

Bruk! Tubuh Sierra terjatuh di sebuah benda lembut. Gadis itu merontah rontah. Sedangkan lelaki itu terus menahan lengannya secara paksa ke atas tubuhnya. Air mata Sierra melesat deras. Akhirnya, lelaki di atas tubuhnya pun menghentikan aksi. Gio beranjak darinya.

Sierra memeluk guling erat. Tangisnya tak terbendung. Isak itu terdengar pilu. Begitupun Gio yang merasa sangat bersalah akan sikapnya yang kelewat batas. "Maaf," lirihnya pelan. Lelaki itu menyambar sebatang rokok lalu menyesapnya terburu-buru.

Sierra membetulkan pakaian. Merapikan rambutnya yang teracak-acak. Ia menyekah air mata. Sungguh, dirinya terasa hina. Prinsipnya hampir saja terkoyak, dan ia berasa tidak memiliki harga diri sebagai perempuan. Entahlah. Apakah perbuatan pacarnya bisa dimaafkan atau tidak? Yang pasti, perasaannya hancur berkeping-keping.

"Aku pamit. Jangan temui aku dulu." Netra Sierra memerah. Ia melangkah keluar dengan hentakan pintu yang cukup keras.

***

Bilamana sendu seperti senja, bisa jadi hatinya ditafsirkan bagaikan rupa sore yang kelam menjelang malam. Semelankolis itu perasaannya saat ini. Campur aduk. Meskipun mulutnya terasa penuh oleh es campur, tetap terasa hambar dan beku.

Merutuk kesal dan rasa bersalah. Berselimut dalam gelapnya malam. Mudah saja si kucing menghiburnya, pikirnya pelukan dari Tifanni sedikit melegahkan hati.

Lihat selengkapnya