Ikuti Saja Mau-Nya

Aniah sinta
Chapter #1

Bukan Soal Jumlah

"Maaf ya, Pak. Di sini belum butuh karyawan baru," ucap seorang security yang bertugas.

Tubuhku lemas seketika. Padahal, menurut temanku kantor ini sedang membutuhkan seorang office boy baru, saking semangatnya aku bahkan tidak peduli meski jarak dari rumah cukup jauh.

"Iya Pak, tidak apa-apa."

Akhirnya hari ini aku kembali tanpa hasil, sudah hampir dua bulan masih juga belum ada pekerjaan baru yang kudapat.

Entah aku harus menghadapi Nayla—istriku seperti apa, tidak tega rasanya terus membuatnya kecewa. Entah sisa berapa uang di tangannya, apakah bisa bertahan sampai aku kembali dapat pekerjaan?


Kunyalakan mesin motorku, sebaiknya hari ini kita sudahi dulu pencarian kerjanya, perutku sudah tidak bisa lagi diajak kompromi karena belum ada sebutir nasi pun yang masuk.

Aku Rahmadi, orang biasa memanggil ku Adi. Awalnya aku bekerja sebagai seorang petugas kebersihan di salah satu kantor Advokat, namun sudah dua bulan ini majikanku memberhentikanku secara sepihak. Saat kutanya alasannya, mereka bilang usiaku sudah terlalu tua untuk pekerjaan itu. Agak aneh memang, padahal pekerjaanku selalu beres dan tidak pernah bermasalah.

Bukan tanpa usaha, dari selatan hingga ke timur sudah kulalui demi mendapatkan pekerjaan baru segera. Namun, sepertinya Tuhan masih ingin melihat seberapa besar usahaku.

Meski ada uang pesangon, tapi jumlahnya tidak seberapa dan kini pasti sudah semakin menipis, apalagi kami harus membayar uang kontrakan setiap bulannya, entah akan cukup atau tidak sampai akhirnya aku bisa kembali berpenghasilan.

Aku merasa frustasi. Jika begini terus, yang ada uang kami benar-benar habis. Bagaimana nasib istri serta kedua anakku, Safa dan Marwah? Bersyukurnya Tuhan menjadikan Nayla pendamping yang sabar, meski dalam kondisi sulit sekali pun.

Sempat ingin daftar menjadi pengemudi ojek online, tapi terkendala motor yang kumiliki hanyalah motor tua peninggalan almarhum bapak.

Bukan tidak ingin membeli motor baru secara kredit saat masih bekerja dulu, tapi gajiku saat itu tidaklah cukup untuk kebutuhan diluar kebutuhan pokok.

Aku dan Nayla mengutamakan kebutuhan anak-anak terlebih dahulu, baru setelahnya akan membeli barang pendukung, itu pun kalau masih ada sisa uang gaji.

Setibanya di rumah, Nayla ternyata sedang mengajari Safa membaca, sedangkan Marwah tengah asyik bermain dengan bonekanya. Mereka bertiga langsung menyambutku dengan hangat.

Melihat senyum dan tawa mereka membuat hatiku pilu. Jika mereka tahu bahwa hari ini aku kembali menelan pahit kegagalan, pasti senyum itu akan pudar.

"Dek, maaf ...."

Nayla langsung paham dengan kata itu saja, memang ada gurat kecewa tapi dia berusaha menutupinya sebisa mungkin.

"Ayo kita makan dulu, Bang."

Nayla langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan, seperti itulah dia, selalu berpura-pura tegar demi diriku.

Aku merasa bersalah padanya, semenjak menikah belum pernah sekali pun membahagiakannya. Padahal, sudah banyak hal yang dia lakukan untukku, termasuk melahirkan kedua putri kami yang sangat lucu.

Dia rela dimusuhi ibunya saat memilih menikah denganku. Ibunya bilang dia wanita bodoh yang mau menikah dengan lelaki masa depan suram sepertiku dan masih banyak lagi cercaan serta makian yang kami terima saat memutuskan untuk menikah dulu.

Meski begitu, Nayla terus meyakinkan ibunya dengan perlahan, sampai akhirnya kami bisa menikah dengan restunya, meskipun hingga kini ibu mertuaku masih memusuhiku.

Padahal, aku sudah bertekad akan menunjukkan bahwa aku bisa membahagiakan putrinya, tapi jika dia tahu kini bahkan menantunya ini seorang pengangguran, entah ucapan menusuk apalagi yang akan dia layangkan.

Saat kami memutuskan untuk mengontrak rumah saja, ibu mertuaku sempat marah besar. Dia berpikir kalau aku tidak akan sanggup dengan gaji yang hanya sedikit, tapi Nayla yang merasa kasihan padaku karena terus mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari ibunya, berusaha keras membujuk kembali orang tuanya agar melepas kami hidup mandiri.

Kupandangi motor butut warisan bapak, benda berharga satu-satunya yang bapak wariskan untuk putranya ini. Tidak ada lagi selain motor itu, ada pun rumah tinggal sudah diambil alih oleh Mbak Nani—kakak perempuanku.

Satu tahun sebelum meninggal, bapak pernah melakukan operasi jantung, mbak lah yang menanggung semua biaya rumah sakitnya. Jadi, saat bapak meninggal, Mbak Nani rasa dia paling berhak atas rumah itu, mengingat biaya rumah sakit saat itu belum bapak ganti.

Aku hanya merasa sadar diri, selama ini biaya hidup Bapak dan segala pengobatannya Mbak Nani lah yang menanggungnya, jadi aku tidak mau berharap lebih dengan rumah warisan bapak.

Ucapan ibu mertuaku benar, masa depanku suram, tidak ada yang bisa Nayla dapatkan dariku. Aku merasa egois karena ingin memilikinya seutuhnya, sedangkan aku tidak mampu untuk membalas segala pengabdiannya padaku.

Lihat selengkapnya