Semangkuk tiramisu, iPod yang memutar sebuah lagu yang sama berulang-ulang, serta pemandangan laut yang terlihat seperti dataran hitam tanpa akhir menjadi teman terbaikku menghabiskan malam sejak pindah ke pulau ini tiga tahun yang lalu. Aku bersyukur dianugerahi seorang sahabat seperti Arianne. Dia dengan senang hati menyewakan vila keluarganya di salah satu lokasi terbaik di Senggigi dengan harga sangat murah ketika aku memberitahukan rencana kepindahanku.
Tiga tahun yang lalu aku memutuskan untuk menjauh dari hiruk pikuk Ibu Kota dan juga pria yang memiliki hatiku. Sebagian orang tentu akan melabeliku sebagai pecundang karena memilih untuk melarikan diri dari rasa. Namun, sebagian yang lain akan menganggapku realistis. Toh, tidak semua rasa harus diperjuangkan.
“Tiramisu? Jam segini? Kamu pengin nggak tidur, Gyth?” Suara Arianne yang kebetulan sedang mengunjungiku membuyarkan hening yang sedang aku nikmati.
“Oh.” Aku memotong tiramisu dengan garpu, lalu menikmatinya. “Ini pakai dark chocolate. Bukan kopi.”
Pada awal kepindahan aku sulit untuk tidur. Berbulan-bulan aku baru bisa tidur setelah pukul 03.00, dan terjaga hampir pukul 05.00. Aku tidak sakit. Aku hanya belum terbiasa. Setidaknya itu yang berusaha aku yakini. Dan, tiramisu ini selalu menjadi penyelamat.
“Lo berubah,” ujarnya singkat, tetapi aku tahu bahwa kalimat itu berarti banyak.
“Masa? Aku tetap sahabat kamu, kok.”
“Iya, lo tetap sahabat gue, tapi lo ....” Arianne terlihat memaksakan diri untuk tersenyum. “Tapi, lo beda. Lo bukan Gytha yang gue kenal tiga tahun yang lalu.”
“Wajar, kan? Apa, sih, yang nggak berubah di dunia ini? Kamu aja sekarang udah nikah dan udah punya Ellie. Tiga tahun yang lalu siapa yang pernah menduganya?”
Arianne menarik napas panjang. “Lo betah, Gyth?”
“Betah.” Aku kembali menikmati tiramisu sebelum melanjutkan kalimat, “Di sini tenang.”