Burhan terbangun dari tidur yang gelisah. Keringat dingin membasahi pelipisnya, sementara jantungnya berdegup kencang. Dia baru saja mengalami mimpi yang begitu nyata—mimpi yang melibatkan sahabatnya, Ferry. Mimpi itu menghantuinya, menyisakan perasaan campur aduk dalam hati.
Dalam mimpi tersebut, Burhan menemukan dirinya di sebuah tempat sunyi. Suara angin berdesir lembut, namun nuansa sepi yang melingkupi seolah menimbulkan ketegangan. Dia melihat Ferry, sosok yang sangat dikenalnya, berjalan di depan, wajahnya tenang meskipun ada sesuatu yang tak biasa di matanya. Burhan merasa seolah sedang berada di sebuah panggung drama, di mana semua yang terjadi tidak sepenuhnya nyata.
“Ferry!” panggil Burhan, berusaha mendekati sahabatnya. Namun, suara itu seolah lenyap di udara. Ferry terus melangkah, tanpa menoleh. Ada sesuatu yang mengganggu perasaan Burhan, semacam pertanda buruk. Di depan mereka, terdapat jurang yang sangat dalam. Tebing curamnya menganga, seolah menantang siapapun untuk mendekat.
“Ferry, tunggu!” seru Burhan, berusaha menghentikan langkah sahabatnya. Tapi Ferry tak berhenti. Dia terus berjalan menuju tepi jurang, seolah ada magnet yang menariknya. Burhan merasa hatinya semakin bergetar. Mungkinkah ini sebuah permainan? Atau mungkin Ferry sedang melontarkan sebuah pesan?
Begitu Ferry mencapai tepi, dia berhenti dan berbalik. Wajahnya terlihat tenang, tetapi sorot matanya penuh dengan kesedihan. “Burhan, aku hanya ingin meminta maaf,” kata Ferry dengan suara lembut. Kata-kata itu seolah merobek relung hati Burhan. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Maaf? Kenapa? Apa yang terjadi?” tanya Burhan, suaranya bergetar. Dia merasa bingung dan tertekan. Dalam hidupnya, Ferry adalah teman yang selalu ada, pelindung dan pendukung terbaik. Namun, dalam mimpi ini, Ferry tampak seperti seorang yang terperosok dalam kesedihan yang dalam.
“Aku sudah melakukan banyak kesalahan. Sekarang, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal,” Ferry melanjutkan. Suaranya terdengar tulus, tetapi ada ketegangan di antara mereka. Burhan ingin meraih tangan Ferry, ingin membawanya menjauh dari tepi jurang itu. Namun, sepertinya semua itu tidak bisa dilakukan.
“Tolong jangan,” kata Burhan, terisak. Dia tahu, dalam hati kecilnya, bahwa ini bukan hanya sekedar mimpi. Ini adalah pertemuan terakhir, sebuah penutupan yang penuh dengan rasa sakit. Burhan tidak ingin kehilangan Ferry, tidak dalam bentuk apapun. Tetapi, saat itu, Ferry menggelengkan kepala, seolah mengerti perasaan sahabatnya.
“Burhan, aku pergi ya,” kata Ferry dengan tegas, meskipun suaranya lembut. Saat itulah, dalam sekejap, Ferry melangkah maju. Burhan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa terdiam, melihat sahabatnya melompat ke dalam jurang yang gelap.
“Ferry!” jerit Burhan, suaranya memecah keheningan. Tetapi suara itu hanya bergema, seolah menantang kesunyian yang mengelilingi mereka. Burhan terdiam, tubuhnya seakan terikat pada tempatnya. Dia hanya bisa melihat ke arah jurang, merasakan kehampaan yang menyakitkan.
Seketika, dunia di sekelilingnya terasa berputar. Dia terjatuh, tersungkur di tanah, hatinya hancur. Air mata mengalir deras, menandai kehilangan yang mendalam. “kenapa Fer. Kenapa?” dia berteriak dalam hati, berusaha mencari jawaban dalam kesedihan yang tidak terperi.
Hanya hening yang menjawabnya. Burhan menunduk, merasakan kepedihan yang membara. Semuanya terasa begitu nyata, tetapi pada saat yang sama, dia tahu ini hanyalah mimpi. Mimpi yang menggambarkan rasa bersalah dan penyesalan yang belum tuntas.
Tak lama setelah itu, Burhan terbangun. Dia duduk di tempat tidurnya, berusaha menenangkan napasnya yang masih tersengal. Tangan gemetar dan jantungnya berdebar kencang, namun di dalam hatinya, ada rasa lega karena Ferry tidak benar-benar pergi. Ini hanya sebuah mimpi, meskipun rasanya seperti kenyataan.