Ust Jamin terbaring di tempat tidurnya, dikelilingi oleh kegelapan malam yang pekat. Suasana sunyi seolah menyelimuti pesantren, tetapi pikirannya berputar dalam ketidakpastian. Satu hari yang lalu, ia menolong Amel dan Yuli yang sedang menyaksikan keanehan di belakang gedung. Saat ia tiba disana, semuanya bisa dikendalikan dengan mudah.
Namun kegelapan semakin dalam ketika ia terlelap. Dalam mimpinya, ia mendapati dirinya berada di sebuah lapangan luas yang tidak dikenalnya. Tempat itu gelap, hanya diterangi cahaya samar yang membuat bayangan tampak lebih menakutkan. Ust Jamin merasakan ketidakberdayaan, seolah ada sesuatu yang mengganggu jiwanya. Suara yang menggema, mengisi ruang hampa, mengaduk-aduk kepercayaan yang ada dalam dirinya.
"Ustad Jamin," suara itu bergema, "engkau sepertinya bukanlah seorang ustad yang sungguhan. Bukankah kau meragukan kekuasaan-Nya? Allah tidak sedang mengujimu. Sebenarnya, engkau adalah pribadi yang lemah, dikelilingi oleh ketakutan."
Kata-kata itu melukai hatinya. Ust Jamin berusaha mengusir suara itu, tetapi semakin ia mencoba, semakin kuat suara itu menggema, seolah menghisap kepercayaan yang tersisa. Dalam kebingungan dan kegelisahan, ia memutuskan untuk menantang suara itu.
"Siapa kau ? berani sekali meragukan keimananku? Jika kau memang makhluk Allah yang paling sakti, buktikan!"
Tak lama setelah tantangannya, dari kegelapan muncul bayangan besar. Siluetnya menakutkan; tubuhnya hitam legam, rambutnya panjang mengalir seperti asap kelam. Wajahnya samar, tetapi aura kekuatannya begitu terasa. Ust Jamin merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu bahwa ini bukanlah hal biasa.
Bayangan itu tertawa, suaranya penuh ejekan. "Kau berani menantangku, wahai manusia lemah? Jika kau ingin bukti, aku akan memberikannya padamu."
Seketika, Ust Jamin merasakan dorongan berat yang tidak terlihat. Seolah ada kekuatan yang mendorongnya menjauh, membuatnya terhuyung-huyung. Ia berusaha menahan, tetapi dorongan itu semakin kuat. Ia merasa seakan ditarik oleh sesuatu yang tidak bisa dilihat. Napasnya mulai tercekat, dan ia merasakan darah mengalir dari hidung, telinga, dan mulutnya.
Sambil terbatuk-batuk, Ust Jamin berjuang untuk tetap berdiri. Ia berusaha mengumpulkan kekuatan, melawan rasa sakit yang menyengat seluruh tubuhnya. Dalam keadaan yang sulit itu, ia mengingat ajaran yang selalu ia sampaikan kepada murid-muridnya: "Iman adalah benteng terkuat dalam menghadapi cobaan." Dengan sisa-sisa kekuatan, ia berusaha menegakkan punggungnya.
"Ya Allah," ia berdoa dalam hati, "Aku hanya berlindung dan meminta padamu"
Suara bayangan itu kembali terdengar, kali ini lebih mengerikan. "Kau pikir doa akan menyelamatkanmu? Tidak ada yang dapat menolongmu sekarang. Imanmu sudah goyah, dan aku akan membuatmu jatuh."
Ust Jamin, meskipun terdesak, tidak mau menyerah. "Engkau mungkin bisa menguji imanku, tetapi aku tahu Allah tidak akan meninggalkanku. Kekuatan ini berasal dari-Nya, begitupun dengan segala kekuatanmu!"
Dengan setiap kata panglima jin, Ustad Jamin merasakan sebuah kekuatan aneh yang merasuki pikirannya. Setiap kali dia mencoba menguatkan diri, ada keraguan yang menyusup. "Apakah aku cukup kuat? Apakah doaku didengar?" pikirnya, dan seiring dengan pertanyaan-pertanyaan itu, iman yang biasanya teguh mulai retak.
Ustad Jamin merasa air mata mengalir dari matanya, mencampurkan rasa sakit yang menjalar dari dalam dirinya. Ia ingin berteriak, tetapi suara itu terbungkam oleh rasa sakit yang luar biasa. Ia merasa lemah, seolah-olah semua kekuatan dalam dirinya telah diambil oleh panglima jin tersebut.
"Sekarang, rasakan lah penderitaan yang telah kau pilih," panglima jin itu terus melancarkan serangan, sementara suara batinnya berbisik, “Kau tidak bisa melawan takdirmu.”