Burhan mengangkat kayu bakar yang telah dikumpulkannya dengan penuh usaha. Setelah beberapa jam bekerja, tangannya terasa pegal, namun semangatnya tidak surut. Acara di pesantren yang akan diadakan Minggu depan membutuhkan banyak kayu bakar, dan ia merasa bangga bisa berkontribusi. Di tengah perjalanan kembali ke pesantren, ia bertemu dengan temannya, Adul, yang juga baru saja menyelesaikan tugas yang sama.
“Bur, kamu udah selesai?” tanya Adul sambil mengatur napasnya.
“Iya, baru aja. Berat banget ya, kayunya,” jawab Burhan, menatap tumpukan kayu di tangannya.
Mereka berdua duduk di sebuah saung kecil di tepi ladang. Suasana tenang dengan angin sore yang sejuk membuat Burhan merasa sedikit lebih santai. Adul kemudian membuka pembicaraan tentang kejadian aneh yang terjadi di pesantren.
“Kamu dengar tentang Amel dan Yuli kan kemarin malam?” tanya Adul, wajahnya terlihat serius.
Burhan mengangguk. “Iya, mereka bilang lihat sesuatu yang aneh di belakang gedung. Mendengar ceritanya itu memang sangat aneh.”
“Katanya pertama, mereka mendengar keramaian kaya orang-orang yang lagi ngelakuin pesta. Awalnya mereka pikir itu hanya ilusi, tapi kemudian suara-suara aneh itu semakin terdengar keras,” jelas Adul, matanya berkilau dengan rasa takut.
Burhan mengernyitkan dahi. “Iya. Dan anehnya lagi mereka malah mendekati sumber itu.”
“Ia juga. Padahal kita tahu bahwa di belakang gedung gak ada apa-apa. Mestinya mereka berpikir kesana. Bukannya malah mendekati keramaian itu,” lanjut Adul, suaranya bergetar.
Burhan merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia ingat bahwa akhir-akhir ini setelah Kiyai sering keluar untuk urusan tertentu, banyak santri melaporkan hal-hal aneh. “Kita harus lebih berhati-hati. Beberapa santri sudah merasa ketakutan,” ujar Burhan, menatap jauh ke arah pepohonan.
Adul mengangguk. “Iya, ada yang bilang Kiyai lagi hadirin acara-acara pengajian. Mungkin ada yang tidak beres di pesantren ini.”
Diskusi mereka terhenti sejenak ketika suara adzan ashar menggema dari menara. Adul meraih kayu bakarnya dan bangkit berdiri. “Aku harus cepat kembali. Kayu ini harus segera dibawa ke dapur.”
“Pergi duluan aja, Dul. Aku ingin istirahat sebentar deh. Hari ini benar-benar kerasa lelah banget,” kata Burhan sambil merentangkan tubuhnya, merasakan setiap ototnya yang tegang.
Adul mengangkat kayu bakarnya. “Ok kalau gitu. Tapi jangan terlalu lama ya. Ini juga udah waktu shalat. Kamu harus cepet balik ke pondok.”
Setelah Adul pergi, Burhan menutup matanya sejenak, mencoba mengusir rasa lelah yang menyergap. Tak terasa, ia tertidur. Dalam mimpinya, ia berada di sebuah kebun luas yang dikelilingi oleh pepohonan rindang. Di tengah kebun, ia melihat sosok Ustad Jamin, seorang pengajar yang sangat dihormatinya.