ILAFAT

Topan We
Chapter #13

Hari Ke 4

Sejak beberapa waktu terakhir, Kiyai Majid sering diundang untuk mengisi pengajian di luar kota, terutama di berbagai majelis taklim dan acara keagamaan. Tugas-tugas beliau sebagai seorang ulama dan pemimpin pesantren memang sering mengharuskan beliau meninggalkan pesantren, namun kali ini, ada yang berbeda. Ketika beliau meninggalkan pesantren untuk beberapa hari, ada perasaan seakan ada yang hilang. Ada ketegangan yang menyelimuti hati santri dan para asatidz di sana. Semua terasa tidak seperti biasa.

“Entahlah… ada sesuatu yang terasa ganjil,” gumam Kiyai Majid saat melangkah lebih cepat. Angin sore yang berhembus seolah ikut membawa perasaan tersebut, menambah rasa gelisah yang sulit dijelaskan.

Beberapa hari terakhir, kabar buruk datang dari pesantren. Santri yang biasanya tampak ceria dan penuh semangat belajar, kini terlihat lesu dan cemas. Beberapa di antara mereka mengeluhkan mimpi buruk yang mengganggu tidur mereka, sementara yang lain mengaku mendengar suara aneh di malam hari, suara langkah kaki yang berjalan tanpa pemilik. Ada yang melihat bayangan hitam melintas di koridor pesantren pada malam hari, padahal semua orang sudah tidur. Semua kejadian ini datang satu per satu, seperti sebuah rangkaian gangguan yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Ketika Kiyai Majid mendengar laporan-laporan itu, ia segera merasa ada sesuatu yang tidak beres. Biasanya, pesantren ini merupakan tempat yang tenang dan penuh berkah. Para santri tumbuh dengan penuh semangat dalam menuntut ilmu agama. Namun kali ini, semuanya terasa berbeda. Ada yang mengganggu kedamaian ini.

Kiyai Majid semakin merasa gelisah, dan akhirnya memutuskan untuk kembali ke pesantren, meskipun pengajian yang dihadiri di luar kota belum selesai. Ia merasa bahwa, sebagai pemimpin pesantren, ia bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan dan kenyamanan para santri di tempat yang telah lama dia kelola ini.

Malam itu, langit tampak begitu pekat dengan kelamnya, hanya diterangi oleh sinar rembulan yang samar. Di atas jalan yang sunyi, hanya ada suara desiran angin yang sesekali berbisik. Kiyai Majid, seorang tokoh agama yang sangat dihormati, sedang duduk dengan tenang di kursi mobil pribadinya. Di sampingnya, ada santri muda bernama Nardi, yang juga bertugas sebagai sopir pribadi kiyai. Mereka sedang dalam perjalanan kembali ke pesantren setelah sebuah pengajian yang penting. Namun, malam itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang tidak biasa di udara, yang membuat Kiyai Majid merasa gelisah.

Sejak beberapa hari terakhir, keadaan pesantren memang terasa aneh. Para santri melaporkan adanya hal-hal ganjil yang terjadi di sekitar pesantren, namun belum ada yang mampu memberikan penjelasan yang memadai. Suara-suara aneh terdengar di malam hari—seperti langkah kaki yang berderap, tetapi saat dicari, tak ada seorang pun yang tampak. Teriakan anak kecil yang entah dari mana asalnya. Dan yang paling mengusik, suara keramaian yang datang dari arah belakang gedung, seolah-olah ada sebuah pertemuan atau acara yang tengah berlangsung di tempat yang sepi.

Kiyai Majid, yang sudah berusia lanjut namun masih memegang teguh ilmunya, mulai merasakan ada yang tidak beres. Beliau tidak menganggap hal-hal semacam itu sepele. Sebagai seorang kiyai, bukan hanya tugasnya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga melindungi pesantren dari gangguan-gangguan yang tidak tampak oleh mata biasa.

“Abah rasa ada yang tidak beres di pesantren. Abah udah mendengar laporan-laporan tentang suara-suara aneh dan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Ini bukan sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar sedang mengganggu kita,” kata Kiyai Majid dengan nada serius, memecah keheningan malam.

Lihat selengkapnya