Sudah beberapa hari ini, Ustad Jamin terlihat lebih sering menyendiri. Para santri mulai merasa khawatir. Dia yang biasanya menjadi sumber inspirasi, kini terlihat seperti orang yang tertutup, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggunya. Tubuhnya tampak kurus, wajahnya pucat, dan matanya terlihat kosong, seakan-akan jauh dari kehidupan. Bahkan, ketika berbicara dengan orang lain, Ustad Jamin sering terlihat berbicara sendiri dengan suara yang terdengar tidak wajar.
Pada suatu malam, ketika udara desa sudah terasa sejuk, Ustad Jamin kembali ke kamarnya dengan langkah yang sedikit terhuyung. Ia menutup pintu kamar dengan pelan dan duduk di sudut ruangan. Hanya cahaya redup yang menerangi sekelilingnya. Ustad Jamin menatap cermin di depannya dengan mata yang kosong, seolah-olah sedang mencari sesuatu yang hilang di dalam dirinya.
"Ya Allah apa yang sedang terjadi padaku?" gumamnya pelan, sambil memegang dadanya. Sesekali ia menundukkan kepala, seakan sedang berkomunikasi dengan sesuatu yang tidak tampak. "Aku tidak tahu siapa yang mengendalikanku sekarang... tetapi, aku tahu... aku tidak bisa menghindarinya."
Tiba-tiba, suara itu muncul lagi. Suara yang dalam dan berat, namun seolah berasal dari dalam dirinya. Itu adalah suara Panglima Jin yang telah merasukinya.
"Jamin... kamu sudah milikku. Tubuh ini adalah milikku sekarang. Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu," bisik suara itu dengan nada yang penuh ancaman. Ustad Jamin menggigil, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. Dia tahu bahwa ini adalah ujian yang saat ini harus dihadapinya, meskipun ia tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.
Panglima Jin itu bukanlah makhluk biasa. Ia adalah salah satu jin yang sangat kuat, yang selama berabad-abad telah mencari tubuh yang bisa menampung kekuatan jahatnya. Ketika kesempatan itu datang, dengan cara yang licik dan penuh tipu daya, ia berhasil memasuki tubuh Ustad Jamin. Sejak saat itu, kehidupan Ustad Jamin berubah total.
Awalnya, perubahan itu tidak begitu terasa. Namun, seiring berjalannya waktu, Ustad Jamin mulai merasakan sakit yang tak kunjung sembuh. Badannya lemah, nafsu makannya hilang, dan tidurnya terganggu. Ia merasa seperti ada yang menguasai tubuhnya. Suasana hatinya pun berubah. Ia menjadi cemas, gelisah, dan merasa takut akan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan.
Santri-santri di pesantren mulai memperhatikan perubahan tersebut. Mereka melihat bagaimana Ustad Jamin yang dulu penuh semangat kini tampak lemah dan mudah marah. Bahkan, beberapa kali, ketika dia diajak berbicara oleh para ustad lainnya, dia sering menghindar atau bahkan tidak memberikan jawaban yang jelas. Di mata mereka, itu semua hanyalah kelelahan atau efek dari kecapekan akibat rutinitas yang padat.