Angin sejuk bertiup pelan, menyejukkan udara yang terasa hangat setelah malam yang dingin. Suasana di pesantren yang biasanya damai dan khusyuk, kini terasa hening, seakan dunia berhenti sejenak. Kabar duka yang datang begitu mendalam, meresap hingga ke sanubari setiap orang yang ada di sana.
Kabar itu datang langsung dari rumah Kiyai Majid. Sang mertua, seorang ulama terkemuka, baru saja meninggal dunia dalam usia yang tidak lagi muda. Berita tersebut disampaikan dengan penuh rasa haru oleh seorang santri yang datang tergopoh-gopoh dari desa tetangga. “Kiyai, mohon maaf, kabar duka datang. Abah haji Dulhamid... telah berpulang ke rahmatullah,” ujar pemuda itu, terengah-engah. Wajahnya pucat, seperti menanggung beban yang berat.
Kiyai Majid, seorang tokoh agama yang dihormati di pesantren itu, duduk termenung di dalam ruang tamu rumahnya yang sederhana. Di depannya, duduk putra dan putrinya, para istri, serta beberapa kerabat dekat. Namun, matanya yang sudah sepuh tampak jauh melayang, menatap kosong ke luar jendela, seolah sedang mencari petunjuk dari langit. Hati beliau terasa terhimpit oleh kabar yang datang begitu mendalam.
“Abah, bagaimana ini?” tanya seorang putranya, dengan nada khawatir. “Kita harus segera berangkat ke rumah Aki, bukan?”
Kiyai Majid mengangguk perlahan. Ia memang harus kembali ke kampung halaman untuk mengurus jenazah mertuanya, seorang ulama yang juga merupakan tokoh penting dalam dunia pesantren di daerah itu. Kepergiannya meninggalkan pesantren ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Sudah lama Kiyai Majid memimpin pesantren ini dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan. Namun, di balik ketenangan yang selalu terpancar dari dirinya, ada rasa takut yang menggelayuti hati para santri dan orang-orang yang dekat dengan pesantren.
Para santri yang tinggal di pesantren ini sudah terbiasa dengan kehadiran Kiyai Majid. Beliau adalah pemimpin yang bijaksana, keras tetapi penuh kasih sayang. Di balik kedisiplinannya, ada rasa cinta yang tulus kepada ilmu dan para santrinya. Namun, bagi mereka, kepergian sang Kiyai ke rumah mertuanya berarti satu hal: meninggalkan pesantren untuk sementara waktu.
“Bawa 20 santri laki-laki untuk melakukan pengajian disana” ujar sang kiyai kepada salah satu ustad.
Kiyai Majid menghela napas panjang. “Ustad yang lain tetap pantau para santri. Rutinitas seperti biasa mesti berjalan. Waktu tidak akan berhenti hanya karena aku meninggalkan pesantren ini untuk sementara.”