Satu malam yang sunyi, langit begitu gelap, hanya diterangi oleh sinar rembulan yang samar-samar menembus awan. Ustadz Jamin, berdiri di hadapan sajadah. Suasana malam itu sangat tenang, seakan seluruh dunia tengah terlelap dalam tidur yang nyenyak. Hanya suara desiran angin yang sesekali menyentuh dedaunan yang tergeletak di tanah yang terdengar di luar mushala. Udara malam itu begitu dingin, namun hati Ustadz Jamin terasa hangat saat ia melangkah menuju mushala untuk melaksanakan shalat Sunnah malam.
Shalat malam selalu menjadi waktu yang sangat penting baginya, sebuah saat untuk menyendiri bersama Sang Pencipta, meresapi ketenangan dan mencari kedamaian dalam setiap gerakan sujud dan rukuk. Setelah mengatur posisi, ia memulai shalat dengan niat yang tulus. Tubuhnya yang kini selalu dihantui oleh suatu bisikan yang menyesatkan bergerak dengan tenang, namun ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak biasa lagi terjadi. Sesaat setelah mengucapkan takbir, bisikan halus mulai terdengar, perlahan namun jelas, seakan menyelinap masuk ke dalam telinganya.
"Apa yang kau cari, Jamin? Apa yang kau lakukan di sini?" suara itu begitu halus, hampir tak terdengar, namun entah mengapa Ustadz Jamin merasa terkejut. Ia menggigil sejenak, namun berusaha untuk tetap fokus. "Allahuakbar Kabiro Walhamdu Lillahi Kasiro," ia melanjutkan shalatnya, mengangkat tangan untuk membaca Iftitah.
Namun, bisikan itu semakin kuat, dan semakin jelas. "Hidupmu penuh dengan kegagalan, Jamin. Apa yang kau sembah selama ini? Bukankah semua ini sia-sia?" Suara itu terasa seperti menggema dalam batinnya, seolah berasal dari dalam jiwanya sendiri. Ustadz Jamin merasa ada sesuatu yang tidak beres, namun ia berusaha keras untuk mengabaikannya, tetap fokus pada bacaan shalatnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, bisikan itu semakin mengganggu. Suara-suara itu berubah menjadi lebih cepat, lebih keras, semakin mendesak. "Kau tak akan pernah bisa tenang, tak akan pernah merasa puas. Semua usaha yang kau lakukan hanya sia-sia," kata suara itu lagi, kali ini dengan nada yang lebih tajam dan penuh cemoohan.
Hati Ustadz Jamin terasa dipenuhi kekacauan. Setiap kali ia berusaha untuk berkonsentrasi, bisikan itu semakin menguasai pikirannya. Ia merasakan ada yang mengganggu hubungan hatinya dengan Allah, ada sebuah tembok yang menghalangi ketenangan hatinya dalam beribadah. Ia merasa seperti seorang pendosa yang tak pantas untuk beribadah, seperti hidupnya penuh dengan dosa-dosa yang tak bisa diampuni.
Namun, dengan segala usaha, ia tetap melanjutkan shalatnya. Ia merendahkan tubuhnya untuk sujud, berharap bahwa dalam posisi itu ia bisa merasakan kedamaian yang sejati. Tapi saat ia menyentuhkan dahi ke tanah, bisikan itu semakin mendekat, semakin menekan. "Kau tidak akan pernah menjadi lebih baik, Jamin. Kau bukan orang yang layak untuk mendapat cinta-Nya."