Hari itu, udara terasa lebih panas dari biasanya. Meskipun angin sesekali berhembus, rasanya tak mampu menyejukkan dada yang terasa sesak. Ustadz Jamin, berjalan dengan langkah pelan menuju ruang kiyai. Sejak beberapa hari yang lalu, perasaan gelisah yang tak kunjung hilang mengganggu pikirannya. Rasanya seperti ada beban berat yang terpendam dalam dada, dan meskipun ia berusaha mengabaikannya, pikiran itu selalu kembali, mengganggu dengan keras.
Sudah beberapa malam ia merasa sulit tidur. Pikiran-pikiran yang datang silih berganti, terkadang penuh dengan kecemasan, terkadang dengan rasa rindu terhadap aktivitasnya yang tak bisa dijelaskan. Ustadz Jamin merasa seperti ada yang hilang dari dirinya, meskipun fisiknya tetap ada di pesantren, hati dan pikirannya seperti terpisah.
Ia memutuskan untuk menghadap Kiyai, mungkin, kata-kata Kiyai bisa membantunya menemukan jalan keluar dari perasaan yang terus mengganggu ini.
Ustadz Jamin berdiri di depan pintu ruangan Kiyai, menatap pintu kayu yang tertutup rapat. Sebelum mengetuk, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Setelah beberapa detik, ia mengetuk pintu dengan pelan. “Assalamu'alaikum,” sapanya dengan suara yang sedikit serak.
“Wa'alaikumussalam, masuklah Jamin,” jawab Kiyai dengan suara lembut, mempersilakan.
Ustadz Jamin masuk ke dalam ruang sederhana itu. Ruangan yang dipenuhi dengan rak-rak buku yang penuh dengan kitab-kitab kuno dan berbagai kitab tafsir. Ada meja kayu tua yang terletak di tengah, tempat Kiyai sering duduk sambil merenung atau menulis sesuatu. Udara di ruangan itu terasa tenang. Kiyai Majid duduk di kursi sambil memandang dengan penuh perhatian kepada Ustadz Jamin.
“Bah, saya ingin meminta izin untuk pulang ke rumah. Sudah beberapa hari ini saya merasa tidak pulih, tidak tenang. Saya ingin mencoba menenangkan pikiran saya sejenak di rumah,” kata Ustadz Jamin, menundukkan kepala sedikit, merasa ada keraguan dalam dirinya.
Kiyai mengangguk perlahan, matanya menatap Ustadz Jamin dengan penuh pengertian. "Ustadz, saya bisa merasakan perasaan yang sedang kamu alami. Abah pun sampai saat ini tidak diam untuk terus memantau perkembanganmu. Kadang, tubuh kita memang tetap berfungsi, tetapi hati dan pikiran kita membutuhkan waktu untuk pulih. Jika kamu merasa perlu untuk kembali ke rumah dan mencari ketenangan, saya izinkan. Namun, izinkan saya berbicara terlebih dahulu."